TUAN YANG TERUTAMA (TYT) DATO' SERI H. SYAMSUL ARIFIN, S.E.:
UMARA POPULIS DENGAN BERBAGAI PRESTASI SOSIAL
Ketua Umum PB MABMI yang satu ini disebut dengan Tuan Yang Terutama Dato’ Seri H. Syamsul Arifin, S.E., gelar Datuk Lelawangsa Sri Hidayatullah Putera Melayu Sahabat Semua Suku. Itulah nama lengkap beliau, yang eksotik dan sangat dekat dengan semua golongan masyarakat di Sumatera Utara. Lahir di Medan, Sumatera Utara, 25 September 1952, adalah Gubernur Sumatera Utara sejak 16 Juni 2008 hingga 2011. Ia adalah Gubernur Sumatera Utara pertama yang terpilih melalui pemilihan umum secara langsung, seiring dengan perubahan demokratisasi di Indonesia. Sebelum menjabat sebagai gubernur, ia menjabat Bupati Langkat (1999-2008). Ia pernah menjabat ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) I Sumut dan masih aktif sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (2005-2009; 2010-2015; dan 2015-2020).
Syamsul Arifin pernah berafiliasi dengan partai Golkar, namun ia maju dalam pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2008 dengan dukungan partai-partai Islam seperti Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Bulan Bintang. Aspek karakteristik pribadi yang menonjol dari Dato’ Syamsul Arifin adalah kedekatan beliau dengan rakyat. Ia adalah sosok pemimpin Sumatera Utara yang sangat peduli kepada semua golongan terutama golongan miskin. Beliau tidak segan-segan memberikan uang atau apapun kepada yang benar-benar membutuhkannya. Selain itu beliau adalah sosok pemimpin yang menggunakan konsep-konsep kepemimpinan Melayu dalam mengelola Sumatera Utara. Yang terkenal semboyannya yang berasal dari budaya Melayu adalah sahabat semua suku, yang bermakna integrasi. Selain itu slogan yang paling terkenal adalah orang bertuah mengalahkan orang pintar dan orang bodoh.
Pikiran-pikiran beliau, dituangkan di dalam buku yang bertajuk Petuah Dato’ Seri H. Syamsul Arifin, S.E. untuk Anak, Cucu, dan Semua Suku. Buku ini ditulis oleh dua orang penulis yaitu Muhammad Sofyan dan Zainal Arifin yang diterbitkan oleh Duta Azhar Medan tahun 2009. Kalau disimak secara intens petuah-petuah atau pikiran beliau ini sebenarnya adalah implementasi dari budaya Melayu dan agama Islam yang dianutnya. Kesemua yaitu 114 petuah yang dituliskan di buku ini merupakan bagaimana secara normatif hubungan manusia dengan Sang Khalik, yang dalam ajaran Islam ini disebut dengan hablum minallah (hubungan manusia dengan Tuhan Penciptanya). Begitu juga hubungan sosial dan budaya antara manusia dilakukan, yang dalam ajaran Islam disebut sebagai hablum minannas (hubungan manusia dengan manusia). Ini adalah konteks sosial yang perlu dilakukan oleh manusia.
Dalam konteks kepemimpinannya petuah yang paling utama yang diaplikasikannya sebagai pemimpin adalah: "Syiar kita mari kita takut kepada Allah, kita ingin rakyat tidak lapar, tidak bodoh, tidak sakit, dan punya masa depan." Kata-kata dalam kalimat petuah ini adalah menggambarkan perlunya seorang pempimpin bekerjasama dengan unsur pimpinan dalam membina hubungan dengan Tuhan dan manusia.
Di antara ajaran-ajaran Islam (Melayu) dalam konteks memimpin masyarakat tercermin di dalam beberapa petuahnya, seperti berikut: mari duduk bersama, bermusyawarah, jangan berfikir sendiri, bertindak sendiri, akhirnya rugi, dan gagal sendiri; modal hidup tidak cukup hanya lidah dan ludah tetapi harus ada karya nyata; sifat Nabi yang selalu terabaikan adalah fathanah dengan zaman, yaitu cerdas membaca perkembangan waktu; jangan kalian dudukkan aku jadi gubernur, kemudian kalian lepaskan dan tak kalian beri ide dan gagasan, Melayu sahabat semua suku, dan lain-lainnya.
Berikut biodata dan profil lengkap Syamsul Arifin.
Nama: H. Syamsul Arifin, S.E.
Tempat/tanggal lahir: Medan, 25 September 1952
Alamat: Jln. Proklamasi No 41 Kelurahan Kwala Bingai Kecamatan Stabat Langkat
Jenis Kelamin: laki-laki
Agama: Islam
Status Perkawinan:
a. sudah
b. nama isteri: Hj. Fatimah Habibie
c. Jumlah anak (3 orang): Ir. Hj Beby Arbiana, M.M. (32),
Hj. Aisia Samira, SE (31), dan
(Alm.) Farid Nugraha
Pekerjaan: Pejabat Negara
Riwayat Pendidikan Syamsul Arifin:
• SDN 8 P. Brandan (lulus 1966)
• SMEP P. Brandan (lulus 1970)
• SMEA Negeri P. Brandan (lulus 1972)
• D-II Fakultas Ekonomi UISU Medan (1975)
• Sarjana Ekonomi Universitas Amir Hamzah (lulus 1996)
Pengalaman Organisasi/Partai Politik:
• Ketua KAPPI Rayon SMEP (1966-1969)
• Pengurus Senat Mahasiswa Komisariat Fakultas Ekonomi UISU di Pangkalan Brandan (1973-1974)
• Pengurus Pertina Sumut (1974-1976)
• Ketua FKPPI Cabang Kab. Langkat (1980-1988)
• Wakil Ketua Kerukunan Usahawan Menengah (KUKMI) Kab. Langkat (1981-1994)
• Bendahara PD MABMI Sumatera Utara (1983-1988)
• Pembina DP HIPPI Kab. Langkat (1983-1986)
• Wakil Sekretaris DPD KNPI Tk I Sumut (1985-1988)
• Wakil Ketua DPD KUKMI Sumatera Utara (1987-1992)
• Wakil Ketua DPD KNPI Tk I Sumut (1988-1991)
• Dewan Penasehat DPD AMPI Sumut (1989-1994)
• Wanhat Kadin Kab. Langkat (1990-1993)
• Wakil Ketua Wanhat FKPPI Tk. I Sumut (1991-1994)
• Ketua DPD KNPI Tk.I Sumut (1991-1994)
• Wakil Sekretaris DPD Golkar Tk.I Sumut (1992-1997)
• Ketua MPI DPD KNPI Tk I Sumut (1998-2001)
• Ketua Umum KONI Langkat (2001-sekarang)
• Ketua Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (2001-sekarang)
• Wakil Ketua MPI DPD KNPI Tk.I Sumut (2003-sekarang)
• Ketua Dewan Pembina Pesantren Yayasan Ulumul Qur’an Stabat (2003-sekarang)
• Ketua Umum PB MABMI (2005-sekarang)
Pengalaman Pekerjaan Syamsul Arifin
• Anggota DPRD Kab. Langkat (1977-1982)
• Anggota DPRD Kab. Langkat (1982-1987)
• Bupati Langkat (1999-2004)
• Bupati Langkat (2004-sekarang)
Pengalaman Pelatihan
• Penataran Kepemimpinan FKPPI Tk. Pusat di Jatim (1978)
• Penataran P4 120 Jam Tk. Sumut di Medan (1984)
• Diklat Manajemen Strategis Depdagri di Jakarta (2001)
Penghargaan dan Prestasi yang Dicapai Selama Menjabat Bupati Langkat
Periode Tahun 1999 s/d 2004
a. Tahun 1999
1. Juara I Intensifikasi Kedelai Tahun 1999 Tingkat Sumut
2. Juara I Lomba Desa Proyek P2WKSS, Tingkat Sumut
3. Juara I Desa Terbaik, Tingkat Sumut
4. Memperoleh Piagam Tunggul PBB SKB Tahun 1999/2000 Provinsi Sumut
b. Tahun 2000
1. Juara Harapan III Intensifikasi Kedelai Tahun 2000 Tingkat Nasional
2. Juara I Intensifikasi Kedelai Tahun 2000 Tingkat Provinsi Sumatera Utara
3. Memperoleh Piagam Tunggul PBB SKB Tahun 2000 Tingkat Provinsi Sumatera Utara
4. Juara III Intensifikasi Padi tahun 2000 tingkat Provinsi Sumatera Utara
5. Juara III Intensifikasi Jagung Tahun 2000 tingkat Provinsi Sumatera Utara
6. Juara I Pimpinan Pertanian Kecamatan tahun 2000 Tingkat Provinsi Sumatera Utara
7. Juara III Lomba Makanan nonberas dalam Rangka Hari Pangan Sedunia Tahun 2000 Tingkat Provinsi Sumatera Utara
c. Tahun 2001
1. Penghargaan Penata Lingkungan Pelabuhan Terbaik II Tingkat Provinsi Sumatera Utara
2. Juara I Lomba Intensifikasi Kedelai Tahun 2001 Tingkat Provinsi Sumatera Utara
3. Penghargaan dari UNICEP “Recognized the Achievenment of Bupati Langkat” Tahun 2001
4. Penganugrahan SDM Award dari Bapak Presiden RI dan Yayasan Pendukung Karir dan Prestasi Tahun 2001
1. Juara I Desa Terbaik Tahun 2001 Tingkat Provinsi Sumatera Utara
2. Juara I Desa Percontohan Terbaik Tahun 2001 Tingkat Provinsi Sumatera Utara
3. Juara I Lomba Desa Teladan UU No 5 Tahun 1979 dalam Rangka 17 Agustus 2001 Tingkat Provinsi Sumatera Utara
4. Juara I Desa Percontohan Tahun 2001 Tingkat Provinsi Sumatera Utara
5. Memperoleh Tunggul PBB SKB Tahun 2001 Tingkat Provinsi Sumatera Utara
6. Juara III Lomba Makanan Non-Beras Tahun 2001 Tingkat Propinsi Sumatera Utara
d. Tahun 2002
1. Anugerah Manggala Karya Kencana Tahun 2002 Kesatuan Gerak PKK KB-Kes Tahun 2002
2. Penghargaan Kalpataru Kategori Perintis Lingkungan dan Pengabdi Lingkungan
3. Anugerah Kehormatan Bintang Legiun Veteran RI Tahun 2002
4. Penghargaan Manggala Karya Kencana Tahun 2002
5. Memperoleh Tunggul PBB SKB Tahun 2002 Tingkat Provinsi Sumatera Utara
6. Penghargaan Usaha Home Industry Produk Pangan Jagung Goreng Tahun 2002 Tingkat Nasional
e. Tahun 2003
1. Satya Lencana Dharma Bhakti Pramuka Tahun 2003
2. Anugerah Aksara Internasional Tahun 2003
3. Penghargaan Manggala Karya Kencana Tahun 2003
4. Satya Wira Kencana Tahun 2003
5. Anugerah Datuk Sri Lela Wangsa Hidayatullah Tahun 2003 dari Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (MABMI) Kab. Langkat
6. Piagam Penghargaan Pembina BKPRMI Provsu Tahun 2003
7. Penganugerahan Bpk Nelayan dari DPC HNSI Kab Langkat Tahun 2003
8. Plakat Wahana Tata Nugraha Bidang Lomba Tertib Lalulintas dan Angkutan Perkotaan Tahun 2003
9. Memperoleh Tunggul PBB SKB Tahun 2003 Tingkat Provinsi Sumatera Utara
10. Juara II Lomba Makanan Non-Beras tahun 2003 Tingkat Provinsi Sumatera Utara
f. Tahun 2004
1. Penglola BKB Tahun 2004
2. Satya Lencana Karya Tahun 2004
3. Penghargaan Widyakrama/Prestasi Tertinggi Program Wajib Belajar 9 Tahun dari Bapak Presiden RI Tahun 2004
4. Penghargaan Tertib Lalu Lintas dari Menteri Perhubungan RI Tahun 2004
5. Plakat dan Sertifikat Wahana Tata Nugraha Bidang Lomba Tata Tertib Lalu Lintas dan Angkutan Perkotaan Tahun 2004
6. Memperoleh Tunggul PBB SKB Tahun 2004
7. Juara I Lomba Makanan Non Beras Tingkat Provinsi Sumatera Utara Tahun 2004
8. Juara II Lomba Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan Tingkat Provinsi Sumatera Utara Tahun 2004
Periode Tahun 2004 s/d 2009
a. Tahun 2005
1. Penghargaan Lencana Melati dari Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Tahun 2005
2. Piagam Penghargaan dari Universitas Sumatera Utara pada pelaksanaan Temu Ilmiah Seminar Nasional Peran Perguruan Tingkat dalam Era Pembangunan Nasional Abad XXI
3. Piagam Penghargaan dari DPD KNPI Tingkat I Sumatera Utara dalam rangka Sua Mantan Pengurus KNPI Periode I-V
4. Penghargaan Ketahanan Pangan Tingkat Nasional Tahun 2005
5. Penghargaan Kelompok Ternak Teladan Nasional 2005
6. Penghargaan Mandala Karya Bakti Husada Arutala 2005
7. Penghijauan dan Konservasi Alam Terbaik tingkat Provinsi Sumatera Utara tahun 2005
8. Piala Wahana Tata Nugraha (Ketegori Kota Kecil) Bidang Tertib Lalu Lintas dan Angkutan Perkotaan Tahun 2005
9. Penghargaan Tunggul PBB Tingkat Provinsi Sumatera Utara Tahun 2005
10. Terbaik I Keluarga Sakinah tingkat Provinsi Sumatera Utara Tahun 2005
11. Penghargaan Aparat Pemerintah dalam Lomba Ketahanan Pangan Tingkat Nasional Tahun 2005
b. Tahun 2006
1. Penghargaan Tokoh Sahabat Pers Tahun 2006
2. Tokoh Pendidikan Tahun 2006 yang diserahkan oleh Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI)
3. Tokoh Terpopuler Tahun 2006 versi Harian Nasional Waspada
4. Pengelola BKB Tahun 2006
5. Piala Wahana Tata Nugraha Bidang Lomba Tertib Lalu Lintas dan Angkutan Perkotaan Tahun 2006
6. Juara I Inseminator Terbaik Tahun 2006
7. Juara I Lomba Kelompok Ternak Domba Tahun 2006
c. Tahun 2007
1. Tokoh Peduli Pendidikan Al-Qur’an BKPRMI Sumut
2. Piala Wahana Tata Nugraha Bidang Lomba Tertib Lalu Lintas dan Angkutan Perkotaan Kategori Kota Kecil Tahun 2007
3. Piala Adipura Kebersihan Lingkungan Masyarakat Kategori Kota Kecil Tahun 2006
4. Satya Lencana Wira Karya
5. KCD/PPK Berprestasi/Pengumpul Data tahun 2007
6. Petugas Inseminasi Buatan (IB) Berprestasi tahun 2007
7. Kelompok Agribisnis Ternak Sapi Potong tahun 2007
TENGKU LUCKMAN SINAR: PEMIKIRANNYA MENGENAI MELAYU SEBAGAI BINGKAI KEMAJEMUKAN SUMATERA UTARA DAN APLIKASINYA DALAM KESENIAN
Muhammad Takari bin Jilin Syahrial
Pendahuluan
Medan, Jalan Abdullah Lubis, Jumat 8 Januari 2011, ramai masyarakat dari berbagai golongan, suku, agama, datang di kediaman keluarga besar Tuanku Luckman Sinar Basarsyah II, Al-Haj, S.H. untuk satu tujuan bertakziah. Papan bunga memenuhi sisi kanan dan kiri badan Jalan Abdullah Lubis. Hari itu, seorang pemimpin besar Melayu yaitu Tuanku Luckman Sinar dipanggil oleh Allah Subhana Wataala ke hadirat-Nya, setelah sekitar seminggu berobat di salah satu rumah sakit di Kuala Lumpur, Malaysia. Masyarakat Kota Medan, Sumatera Utara, Indonesia, Dunia Melayu, dan Dunia Islam, sekali lagi kehilangan seorang pemimpinnya. Mereka berharap akan muncul pemimpin baru, selepas kepergian Tengku Luckman Sinar (TLS) ini.
Kemudian dalam rangka memperingati ketokohan Almarhum (Allahyarham), Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, menyelenggarakan Seminar Internasional tentang Pemikiran Tuanku Luckman Sinar Basarsyah II: Keindonesiaan dan Kemelayuan Mencari Tempat Tradisi di Wilayah Negara Indonesia. Oleh Panitia saya dipercayakan untuk menulis sebuah makalah tentang Pemikiran Tengku Luckman Sinar tentang Melayu sebagai Bingkai Kemajemukan Sumatera Utara. Kemudian tajuk ini saya tambah dengan Aplikasinya dalam Kesenian. Yang menjurus kepada disiplin yang penulis tekuni selama ini. Begitu juga pengalaman hidup bersama Allahyarham yang sebahagian besar berada di dalam domain kesenian dan budaya. Dengan senang hati dan mengucap Insya Allah, penulis menyanggupi untuk mendedahkan pemikiran Allahyarham semasa hidup mengenai Melayu sebagai bingkai kemajemukan (heterogenitas, multikultur) Sumatera Utara, juga pengalaman sebahagian hidup kami, dalam bekesenian, dan membina ilmu-ilmu budaya Melayu.
Untuk memerikan dua hal tersebut, penulis akan memakai panduan ilmu sejarah dan cara orang Melayu melihat, menghargai, mengapresiasi, dan menilai orang lain, termasuk seorang sultan, pemimpin, tokoh masyarakat, ayah (entu) kami, sahabat, guru, rekan, dan berbagai sosok yang lengkap menurut penulis. Inilah yang memandu penulis menguraikan pokok masalah tersebut.
Adapun yang dimaksud sejarah dalam tulisan ini adalah mengacu kepada pendapat seorang pakar sejarah yaitu Garraghan, sebagai berikut.
The term history stands for three related but sharply differentiated concepts: (a) past human events; past actuality; (b) the record of the same; (c) the process or technique of making the record.
The Greek istoria, which gives us the Latin historia, the French histoire, and English history, originally meant inquiry, investigation, research, and not a record of data accumulated thereby—the usual present-day meaning of the term. It was only at a later period that the Greeks attached to it the meaning of “a record or narration of the results of inquiry.” In current usage the term history may accordingly signify or imply any one of three things: (1) inquiry; (2) the objects of inquiry; (3) the record of the results of inquiry, corresponding respectively to (c), (a), and (b) above (Garraghan 1957:3).
Sementara untuk mengurai persepsi penulis terhadap ekesistensi TLS semasa hidupnya, terutama hubungan pribadi dan sosial kami, digunakan etnosains Melayu, yang terkodifikasi dalam ajaran adat Melayu. Adat Melayu ini diklasifikasikan dalam empat kategori yaitu: (a) adat yang sebenarnya adat, (b) adat yang diadatkan, (c) adat yang teradat, dan (d) adat istiadat. Adat Melayu ini didasari oleh ajaran-ajaran Islam, yang dikonsepkan oleh nenek moyang orang Melayu sebagai adat bersendikan syarak, dan syarak bersendikan kitabullah (ABS-SBK). Artinya dalam mengkaji eksistensi seorang manusia (hamba Allah) di muka bumi ini selama hidupnya lihatlah menurut perspektif agama Islam. Inilah yang penulis lakukan dalam rangka mengkaji pengalaman bersama TLS.
Agar uraian tidak meluas, maka penulis batasi kepada dua aspek saja, yaitu yang pertama adalah pemikiran atau konsep Allahyarham mengenai Melayu sebagai bingkai kemajemukan budaya Sumatera Utara. Kemudian yang kedua adalah penerapan kemajemukan dalam berkesenian. Ini adalah kinerja yang telah diberikan Tuhan kepada penulis dan TLS, yang bertungkus lumus di bidang seni budaya Melayu. Dua hal itu akan berdampak dalam rangka membina ilmu-ilmu tentang budaya Melayu yang sama diberikan Allah kepada kami. Kami ditakdirkan oleh Allah untuk berkecimpung di dunia akademis, khususnya di Fakultas Sastra USU, juga mengabdikan diri untuk senantiasa memberikan dan berbagi ilmu-ilmu mengenai budaya Melayu dalam masyarakat, baik di Medan, Sumaera Utara, Indonesia, atau Dunia Melayu yang lebih luas. Kami ditakdirkan Allah untuk selalu sama dalam mebagikan pengalaman keilmuan seputar budaya Melayu dalam bentuk seminnar, simposium, lokakarya, menulis artikel, buku, dan seterusnya.
Arahan Budaya Melayu dalam Memandang Pemimpin
Dalam kebudayaan Melayu, pemimpin (pimpinan) adalah hal yang penting untuk diwujudkn eksistensinya dalam rangka membentuk masyarakat yang madani. Seorang pemimpin akan menjadi “imam” kepada orang yang dipimpinnya. Pemimpin ini bisa berupa diri sendiri, pemimpin keluarga, pemimpin masyarakat desa, pemimpin adat, pemimpin angkatan perang, bahkan sampai sultan atau presiden. Pemimpin mestilah memberikan contoh yang terbaik bagi yang dipimpinnya.
Dalam kebudayaan Melayu seorang sultan atau raja dipandang sebagai wakil Allah di muka bumi ini. Seorang sultan setelah dinobatkan dengan menggunakan upacara penobaan, maka secara otomatis ia adalah pemimpin tertinggi di dalam institusi politik Melayu. Ia menjadi kepala ulama, kepala pemerintahan, kepala angkatan perang, dan dengan pertimbangan yang bijaksana ia dapat memutuskan apa yang akan diambil oleh negeri yang dipimpinnya.
Namun demikian, seorang pemimpin Melayu juga harus memperhatikan suara hati nurani rakyat yang dipimpinnya. Bahkan ada nilai-nilai keseimbangan pengawasan oleh rakyat dalam kebudayaan Melayu ang tercermin dalam ungkapan: raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah. Artinya setiap rakyat yang berada dalam kekuasaan raja Melayu bisa melakukan kritik kepada raja, jika sang raja melakukan kesalahan. Dalam sejarah Melayu, pertembungan antara kepentingan pemimpin dan kepentingan rakyat ini pernah terjadi di zaman kesultanan Melayu Melaka. Pada saat itu terjadi kritik rakyat terhadap kinerja sultan Melaka. Suara rakyat ini direspons oleh Hang Jebat dan suara sultan direspons oleh Hang Tuah. Akhirnya dua tokoh Hang ini saling bertempur dan akhirnya Hang Jebat kalah di tangan Hang Tuah.
Bagi orang Melayu seorang pemimpin harus ditaati, dihormati, dan diikuti perintah-perintahnya adalah sesuai dengan kanun Islam. Agama Islam menjadi dasar bagi kebijakan politik dan budaya dalam konteks peradaban masyarakat Melayu. Islam mengajaran bahwa seorang pemimpin tidak boleh terlalu dikultuskan seperti halnya Firaun di zaman Mesir Lama. Namun seorang pemimpin juga tidak boleh diremehkan oleh masyarakat yang dipimpinnya, walau ada kelemahan dalam kinerja kepemimpinannya. Sampaikan kritik melalui saluran sosial dan politik yang ada.
Seorang pemimpin cukuplah dihormati sebagai pimpinan dengan segala kelebihan dan kekurangannya sebagai wakil Allah di muka bumi. Pemimpin bisa salah dan juga bisa benar, karena dia tidaklah maksum (terhindar dari segala dosa). Dengan demikian, dalam rangka mengenang TLS, maka penulis merujuk kepada panduan budaya Melayu ini, yang juga dipegang oleh TLS semasa hidupnya dan itu pun diajarkannya kepada penulis.
Sejarah Perkenalan dengan TLS
Sebagaimana penjelasan tentang otobiografi ringkas beliau, TLS adalah putera Tuanku Sulaiman Syariful Alamshah, Sultan Kerajaan negeri Serdang. Dilahirkan di Istana Kota Galuh Bandar Setia Perbaungan, Deli Serdang, Sumatera Utara pada tanggal 27 Juli 1933. Pernah memimpin berbagai perusahaan dan aktif dalam bidang sosiobudaya dan sejarah. Berbagai tulisan dalam bentuk makalah dan buku telah ditulisnya dan dipublikasikannya, sebagai aset utama tulisan-tulisan sosiobudaya Melayu. Beliau juga memangku sebagai sultan Serdang kelima, yan selepas wafatnya digantikan oleh Tuanku Drs. Ahmad Thala’a. TLS dikenal sebagai sosok sejarawan aktif di Sumatera Utara. Berbagai publikasi sejarah baik secara mandiri atau tim telah diterbitkan secara pribadi atau oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Kabupaten Deli Serdang, dan lainnya. Ia juga pernah menjadi dosen tamu untuk mata kuliah Pengantar Masyarakat Kesenian di Indonesia (PMKI) di Fakultas Sastra tahun 1985-2000. Beliau juga berhasil mendidik anak-anaknya menjadi orang Melayu yang terpelajar, bahkan menyandang gelar kehormatan akademis profesor dan doktor.
Awal perkenalan penulis dengan Allahyarham adalah tahun 1984 Ketika itu ia mengajar mata kuliah Pengantar Masyarakat Kesenian Indonesia (PMKI) yang dikoordinasikan oleh Ibu Dra. Chalida Fachruddin, besama Rizaldi Siagian, M.A., dan Drs. Fadlin Djafar. Beliau mengajarkan bidang kesenian Melayu, yang di antara kuliahnya berisi materi tentang eksistensi musik dan tari Melayu secara umum, serampang dua belas, teater makyong dan mendu, serta beberapa genre tradisi lisan Melayu.
Pada awal pertemuan penulis ini, penulis menanyakan apa saja alat-alat musik dalam kebudayaan Melayu yang “asli” berasal dari kebudayaan Melayu, bukan diambil dari budaya luar. Dengan cekatan beliau menjawab bahwa alat-alat musik Melayu seperti yang penulis tanyakan itu di antaranya adalah: gendang ronggeng, gendang geduk, gendang silat (inai), kertok buloh, dan lain-lain. Alat-alat dari luar juga diadopsi oleh orang Melayu dan menjadi bahagian yang integral dari kebudayaan Melayu itu sendiri. Menurut beliau, biola misalnya jelas berasa dari Eropa, dan biola Eropa ini sendiri berasal dari rebab (rebec) Timur Tengah. Kemudian biola dan rebab itu kedua-duanya dijumpai di dalam kebudayaan Melayu.
Sejak saat itu, beliau selalu memberikan perhatian kepada penulis, terutama di bidang ilmu-ilmu seni dan budaya Melayu. Beberapa kali penulis dipercaya Entu untuk mewakili beliau di dalam seminar-seminar yang topik dan temanya mengkaji budaya dan seni Melayu. Oleh karena itu, Departemen Etnomusikologi memberikan wewenang kepada Rizaldi Siagian dan Tengku Luckman Sinar untuk membimbing penulisan skripsi strata satu saya yang bertajuk Kesenian Hadrah dalam Kebudayaan Melayu Deli Serdang dan Asahan: Studi Deskriptif Musikal, yang diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana seni di bidang Etnomusikologi di Fakultas Sastra USU Medan. Beliau dengan lugas dan berwawasan luas membimbing penulisan skripsi tersebut yang mengantarkan penulis menjadi seorang sarjana seni.
Hubungan sosial terus berlanjut. Di dekade 1990-an beliau adalah Ketua Bidang Seni Budaya. Fadlin, penulis, dan beliau membentuk Lembaga Kesenian Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (LK-MABMI), bersama-sama juga Dahlia Grup dan Sri Indra Ratu (SIR). Di tengah jalan, integrasi kelompok-keloompok seni Melayu ini mengalami perpecahan. Akhirnya beliau membentuk Sinar Budaya Group (SBG) bersama Fadlin, penulis, Syainul Irwan, dan para anggota-anggota seniman tari dan musik Melayu. Dalam perjalanannya SBG bagaimanapun turut melestarikan seni budaya Melayu di kawasan Sumatera Utara. Bahkan berbagai genre seni di luar Melayu juga selalu dibawakan oleh grup kesenian ini..
Dalam hal ini TLS berpikiran bahwa peradaban Melayu memiliki nilai-nilai untuk membingkai kebudayaan-kebudayaan etnik Nusantara ini dalam bentuk kesatuan dalam pelbagai perbedaan. Menurut penjelasan beliau dengan kami para pengurus SBG, Melayu adalah sebuah entitas yang luas mencakup kawasan Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Oseania, sampai ke Selandia Baru, dan Madagaskar. Kalau disatukan secara budaya mereka memiliki potensi yang dahsyat. Itu secebis pemikiran TLS tentang kesatuan dalam keanekaragaman, yang kemudian diterapkannya untuk bidang kesenian khususnya di SBG.
Dalam kaitannya dengan Pengurus Besar Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia, TLS menakhodainya dari 2001 sampai 2004. Dalam era kepemimpinanya ini, yang menonjol adalah pertunjukan budaya oleh Lembaga Kesenian MABMI, di samping kajian-kajian tentang kemelayuan.
Tahun 2010 sampai 2014 penulis dipercaya oleh Pengurus Besar Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (PB MABMI) menjadi Ketua Depatemen Adat, Seni, dan Budaya. Ini pun direspons oleh TLS bahwa teruskan perjuangan umat Melayu melalui adat dan seni. Beliau selalu memberikan arahan dan nasehat ke mana budaya Melayu ini akan kita bawa. Bahwa menurut beliau budaya Melayu jangan sampai tercerai-berai dengan Islam yang menjadi penggerak utama atau roh menyiasatinya. Itu yang penulis ingat ketika memberikan arahan saat penuls dilantik menjadi ketua departemen adat, seni, dan budaya PB MABMI. Bahkan di ujung hayatnya ia dengan eksplisit menyatakan bahwa tulislah terus tentang kebudayaan Melayu ini, agar dapat kita wariskan kepada generasi berikutnya.
Salah satu kerja besar TLS adalah dalam memperkenalkan seni budaya Melayu Sumatera Utara dan Nusantara ke manca negara, baik itu ke Singapura, Malaysia, Thailand, bahkan sampai ke Amerika Latin dan beberapa negeri Arab. Di antara kerja besar beliau adalah membawa SBG ke Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organization Petroleum Exporter Countries (OPEC) di Caracas, Venezuela, tahun 2001, yang disponsori oleh Pemerintah Repubik Indonesia. Persembahan SBG ini menjadi buah bibir di kalangan seniman di kawasan ini dan mancanegara.
Selain itu, TLS juga rajin menulis makalah untuk seminar-seminar yang berkaitan dengan adat dan seni Melayu. Ratusan makalah sudah ditulisnya dan puluhan buku tentang Melayu juga telah ditulis dan dipublikasikannya. Ini menjadi bahan yang berharga dalam rangka mengkaji dan mengembangkan kebudayaan Melayu Sumatera Timur ke masa depan.
Tahun 2010, di bulan Desember, TLS, beserta Abangnda Yose Rizal Firdaus, Muslim, penulis, dan Fadlin, mengisi seminar zapin yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Medan (DKM). Ini adalah seminar terakhir beliau di penghujung hayatnya, yang kemudian bertemu dengan Sang Khalik yang menciptakan beliau.
Sifat-sifat Dasar TLS
Sifat-sifat dasar TLS adalah suka menolong sesama. Ia bahkan rela membiayai para mahasiswa yang kuliah yang kemudian bisa mengabdi kepada beliau atau budaya Melayu. Ini ditunjukkannya dengan menafkahi hidup dan kuliah sang mahasiswa, bahkan diberi kendaraan sepeda motor untuk dapat menyelesaikan kuliahnya. Ia juga akan memberikan uang dengan cepat apabila ada pegawainya yang sakit atau ditimpa kesusahan. Bahkan biaya operasi pun ditanggungnya.
Selain itu, TLS paling suka memberi makan, siapa saja yang dianggapnya dekat dengan beliau. Memberi makan ini semacam ada kepuasan tersendiri baginya. Masih ingat dalam memori penulis, bahwa setiap bulan puasa, minimal sekali kami berbuka puasa bersama di restoran yang elit di Kota Medan ini. Beliau juga suka mengambil makanan yang ada di pinggan kami masing-masing dengan cara merata-rata. Itu adalah sepenggal sifat dasar beiau.
Selanjutnya, TLS adalah seorang pencinta seni sejati, khususnya seni pertunjukan. Bukan saja sebagai pencinta dan penikmat seni. Beliau juga suka memainkan alat-alat musik. Adapun alat-alat musik yang kerap dimainkannya adalah seperangkat timbales, gendang ronggeng Melayu, dan juga bass elektrik. Alat musik bass elektrik ini juga belaiu percayakan kepada penulis untuk memainkannya menggantikan beliau dalam sesebuah pertunjukan SBG. Dalam memainkan pola-pola ritme gendang Melayu dan timbales beliau suka memberikan improvisasi di sana-sini yang memperlihatkan jiwa merdekanya di alam seni, tidak dikungkung oleh dimensi ruang dan waktu dalam dimensi musik.
Sifat dasar TLS lainnya adalah menyelesaikan masalah secara cepat. Bahkan kadang dirugikan dengan keputusan yang cepat ini. Namun beliau mempunyai prinsip dalam mengambil keputusan dalam rangka manajerial beliau. Keputusan-keputusan yang dibuat beliau selain memperhitungkan kepentingan umum, juga adalah memperhitungkan kepentingan keluarganya. Ini yang dapat kami simak selama berkenalan dengan TLS semasa hidupnya.
TLS adalah seorang pemangku adat (sultan) Kerajaan Negeri Serdang. Pada saat pelantikannya ini, beliau memperlihatkan kewibawaan dan pluralitas etnik yang ada di Serdang. Kesenian yang dipertunjukkan juga melibakan seni Melayu, Simalungun, dan Karo, sebagai entitas utama Kerajaan Negeri Serdang. Ini memperlihatkan bahwa beliau adalah seorang yang menghargai perbedaan dalam kesatuan Kerajaan Serdang yang dipimpinnya.
Pemikiran TLS mengenai Melayu sebagai Bingkai Kemajemukan Kultural Sumatera Utara
Sebagai sejarawan dan ahli Melayu di bidang ilmu pengetahuan TLS juga memiliki pemikiran yang kreatif terhadap apa itu Melayu dan bagaimana kedudukan Melayu dalam kemajemukan budaya dan etnik yang ada di Sumatera Utara. Bagi beliau, Melayu sejak abad ke-13 adalah beridentitaskan Islam. Oleh karena itu beliau selalu mengutip pendapat sarjana asing yang mendefinisikan Melayu sebagai muslim, terutama dari Judith A. Nagata: A Malay one who Muslim, who habitually speaks Malay, who practises Malay adat, and who fulfills certain residence requirements (Nagata 1977:91).
Menurutnya orang Melayu ada di Siam Selatan, Malaysia Barat, Singapura, Brunei, dan di Malaysia Timur serta di Indonesia. Istilah yang sering didengar zaman dahulu masuk Melayu berarti masuk Islam. Di kawasan Indonesia, Melayu ini menjangkau wilayah sepanjang pesisir timur Sumatera. Dari Tamiang (Aceh Timur), pesisir timur Sumatera Utara, Provinsi Riau, Pesisir Jambi, serta Kalimantan Barat. Karena wilayahnya yang berada dalam jalur lalu lintas ramai, yaitu Selat Melaka dan Laut China Selatan itu, maka tidaklah mengherankan apabila masyarakat Melayu paling banyak mendapatkan pengaruh dari bangsa-bangsa lain seperti Siam, China, Arab, India, Persia, Portugis dan dari suku-suku tetangga seperti Batak, Jawa, dan lain-lain (Luckman Sinar 1990:2). Demikian pendapat TLS tentang suku Melayu, khususnya beranjak dari orang Melayu di Sumatera Utara.
Dalam ukuran ras yang lebih besar maka ras Melayu mencakup wilayah Asia Tenggara, sebagai pusatnya, sampai ke Madagaskar di wilayah Barat, Taiwan di utara, Oseania (Melanesia, Mikronesia, dan Polinesia) di timur, sampai ke Selandia Baru di Selatan. Demikian luas bentangan ras Melayu ini menurut pendapat beliau berdasarkan bahan-bahan kajiannya. Wilayah yang luas ini disebut dengan daerah kebudayaan Melayu-Polinesia atau Melayu-Austronesia.
Menurut TLS, masyarakat Melayu Sumatera Utara selain memiiiki ciri kebudayaan yang umum, juga memiliki ciri khas yang khusus terdapat di kawasan ini saja. Dalam berbagai seminar tentang identitas kemelayuan, maka ciri-ciri khas itu adalah tergambar dalam struktur kekerabatan, seperti yang diuraikan berikut ini.
Sistem kekerabatan etnik Melayu di Sumatera Utara, berdasar kepada hirarki vertikal adalah dimulai dari sebutan yang tertua sampai yang muda: (1) nini, (2) datu, (3) oyang (moyang), (4) atok (datuk), (5) ayah (bapak, entu), (6) anak, (7) cucu, (8) cicit, (9) piut, dan (10) entah-entah. Hirarki horizontal adalah: (1) saudara satu emak dan ayah, lelaki dan wanita; (2) saudara sekandung, yaitu saudara seibu, laki-laki atau wanita, lain ayah (ayah tiri); (3) saudara seayah, yaitu saudara laki-laki atau wanita dari satu ayah lain ibu (emak tiri); (4) saudara sewali, yaitu ayahnya saling bersaudara; (5) saudara berimpal, yaitu anak dari makcik, saudara perempuan ayah; (6) saudara dua kali wali, maksudnya atoknya saling bersaudara; (7) saudara dua kali impal, maksudnya atok lelaki dengan atok perempuan bersaudara, (8) saudara tiga kali wali, maksudnya moyang laki-lakinya bersaudara; (9) saudara tiga kali impal, maksudnya moyang laki-laki sama moyang perempuan bersaudara. Demikian seterusnya empat kali wali, lima kali wali, empat kali impal, dan lima kali impal. Sampai tiga kali impal atau tiga wali dihitung alur kerabat yang belum jauh hubungannya.
Dalam sistem kekerabatan Melayu Sumatera Utara dikenal tiga jenis impal: (1) impal larangan, yaitu anak-anak gadis dari makcik kandung, saudara perempuan ayah. Anak gadis makcik ini tidak boleh kawin dengan pihak lain tanpa persetujuan dari impal larangannya. Kalau terjadi, dan impal larangan mengadu kepada raja, maka orang tua si gadis didenda 10 tail atau 16 ringgit. Sebaliknya jika si gadis itu cacat atau buruk sekali rupanya, impal larangan wajib mengawininya untuk menutup malu "si gadis yang tak laku;" (2) impal biasa, yaitu anak laki-laki dari makcik; (3) impal langgisan, yaitu anak-anak dari emak-emak yang bersaudara.
Istilah impal ini, menurut TLS yang memberikan identitas khas kekerabatan etnik Melayu Sumatera Utara, yang tidak dijumpai dalam kebudayaan etnik Melayu di lain tempat. Istilah impal itu sendiri menurut beliau memiliki hubungan dengan etnik Karo, yang secara historis berasal dari satu kerajaan yang sama yaitu Kerajaan Haru. Bagi TLS struktur kekerabatan ini, memiliki hubungan dengan masyarakat suku-suku sekitar etnik Melayu yaitu Karo, Simalungun, Batak Toba, Mandailing-Angkola, dan Pakpak-Dairi yang menyebabkan khas struktur kekerabatan tempatan.
Bagi TLS berbagai etnik di Sumatera Utara ini dapat dipersatukan oleh peradaban Melayu, yang itu dibuktikan sejak masa kesultanan hingga sekarang ini. Pertama, pada masa kesultanan Melayu berbagai kelompok etnik Batak Toba, Mandailing-Angkola, Simalungun, dan Karo hijrah ke daerah kesultanan Melayu dan masuk Melayu. Bagi mereka ini semua hak dan kewajiban adalah sama dengan orang Melayu. Begitu juga suku Minangkabau, Jawa, dan Aceh yang datang ke daerah kesultanan Melayu masuk menjadi warga Melayu dan merupakan aset insani yang tidak ternilai harganya bagi kesultanan Melayu. Bahkan menurut kajian TLS, kesultanan Serdang sendiri dibentuk oleh perpaduan darah-darah keturunan Melayu, Simalungun, Karo, Minangkabau, Jawa, Tionghoa, Eropa, dan lainnya Jadi secara dasarnya orang Melayu sudah sangat menghargai keanekarangaman budaya yang juga terekspresi dalam konteks Sumatera Utara, Indonesia, dan Dunia Melayu.
Selepas kemerdekaan, upaya melayunisasi ini mengalami degradasi, masyarakat tadi sebahagian kembali mencari keturunan darahnya dan memakai marga, namun tetap memegang teguh nilai-nilai kemelayuan. Bagi TLS ini adalah wajar terjadi di alam demokrasi yang sangat menghargai hak individu. Namun dalam pemikiran beliau, Melayu masih menjadi salah satu pilihan membingkai integrasi sosial mereka. Minimal itu dapat dilihat di dalam penggunaan bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di antara mereka. Selain itu, berbagai tradisi ritual Melayu diunakan oleh berbagai kelompok etnik tersebut, seeprti upacara tepung tawar, nasi balai, pakaian ala Melayu, masakan khas Melayu yang juga menjadi identitas kultural bersama. Jadi dalam pemikiran TLS budaya Melayu dapat membingkai keanekaragaman budaya dalam suasana integrasi sosial.
Aplikasi Kemajemukan Budaya Nusantara dalam Kesenian
Eksistensi kemajemukan kebudayaan Sumatera Utara yang perlu dihargai dan dilestarikan tidak hanya cukup dalam tahap ide saja. TLS mengaplikasikan gagasannya ini ke dalam bidang kesenian yang tentu saja diterapkan ke Sinar Budaya Group (SBG). Berbekal ide keanekaragaman budaya itu, maka SBG di dasawarsa 1990-an sampai 2000-an dalam repertoarnya memasukkan semua unsur etnik Sumatera Utara dan Nusantara. Di antara repertoar Sumatera Utara itu adalah: (a) Tortor saoan dan Somba-somba dari budaya Batak Toba bersama Gondang Sabangunan. Untuk keperluan ini pun beliau memasukkan pemusik Toba seperti Martogi Sitohang dan Oktavianus Matondang sebagai pemainnya, tidak mesti orang Melayu. (b) Tari Shaman dan Dabus dari Aceh, yang juga mendatangkan pemain dabus Aceh yaitu Nazaruddin, yang dibawa pertunjukan ke Malaysia, Singapura, bahkan sampai ke Venezuela, (c) Tortor Sabe-sabe, dari kawasan Mandailing-Angkola dan juga Gordang Sambilan dan gondang dua Mandailing-Angkola, yang biasa dimainkan oleh Fadlin, Muhammad Takari, Datuk Fauzi, dan kawan-kawan untuk bidang musik dan tari oleh Riri Virzan Putri dan kawan-kawan, (d) Gendang keyboard dan lima sedalanen Karo, yang juga mengambil pemusik Karo, juga tari-tarian Karo seperti Piso Surit dan Biring Manggis, (e) Tari maena atau tari perang dari etnik Nias juga mendapatkan porsi dalam rangka seni multikultur di SBG ini, (f) Tari Rantak Minangkabau beserta iringan gendang dol Minangkabau dan ensambel talempongnya, (g) tari Klono Topeng dari Jawa Timur juga ditampilkan oleh kelompok kesenian SBG ini, (h) Tari Baris dari Bali juga menjadi salah satu repertoar grup seni SBG yang diimpin oleh TLS.
Penerapan multikultur ala SBG ini tidak lepas pula dari peran kami pendukung SBG, yang menginginkan ekspresi multikultur Sumatera Utara dan Nusantara dalam bentuk seni budaya. Hal ini sejalan pula dengan konsep ketatanegaraan kita yang menghargai perbedaan dalam kesatuan yang tercermin dalam filsafat bhinneka tunggal ika.
TLS juga termasuk seorang yang tidak anti terhadap perubahan zaman, yang dihayatinya dari ajaran budaya Melayu. Bahwa perubahan itu pasti terjadi, jadi jangan menolak perubahan. Dalam berkesenian pun ia mencoba membuat perubahan di sani-sini sesuai dengan tuntutan zaman. Dalam budaya Melayu dikatakan sekali air bah, sekali tepian berubah. Artinya perubahan pasti terjadi sesuai dimensi ruang dan waktu yang dilalui sesebuah peradaban, termasuk perdaban Melayu. Dalam rangka mengikuti perubahan ini, TLS juga melakukan pembaharuan di bidang seni seperti memasukkan nilai-nilai musik dan tari pop dunia, memasukkan unsur-unsur budaya Asia Tengah ke dalam zapin, dan seterusnya, yang menjadikan seni garapan baru menjadi lebih hidup dan dinamis.
Penutup
Bahwa semasa hidupnya TLS adalah seorang pemikir dan praktisi budaya, yang berdasar kepada konsep bhinneka tunggal ika. Baginya budaya Melayu dapat menjadi penaung atau bingkai integrasi sosiobudaya masyarakat Sumatera Utara yang multikultur. Identitas Melayu sendiri pun menghargai perbedaan ini, dan orang Melayu terbuka menerima etnik lain untuk masuk Melayu. Jadi menurut TLS berbicara Melayu Sumatera Utara berarti berbicara keanekaragaman etnik yang ada di Sumatera Utara. Membicarakan keberagaman etnik tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai integrasi yang telah berakar di dalam kebudayaan Melayu.
Beliau sebagai pemikir identitas Melayu, kemajemukan etnik Nusantara, berpikir bahwa eksistensi yang heterogen ini memiliki berbagai unsur persamaan, yang terdapat dan terkandung di dalam kebudayaan Melayu. Baginya Melayu dapat membingkai keanekaragaman ini dalam daya kesatuan yang kuat dan dinamis. Demikian ulasan penulis. Wassalam.
Bibliografi
Barth, Fredrik, 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Blagden, C.O., 1989 “The Name Melayu”, Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society.
Hall, D.G.E., 1968. A History of South East Asia. New York: St. Martin Press. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia, D.G.E. Hall, 1988. Sejarah Asia Tenggara, diterjemahkan oleh I.P. Soewasha dan terjemahan disunting oleh M. Habib Mustopo. Surabaya: Usaha Nasional.
Garraghan, Gilbert J.,S.J., 1957. A Guide to Historical Method. East Fordham Road, New York: Fordham University Press.
Geldern, Robert Heine. 1972. Konsepsi tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara. Jakarta: Rajawali Press.
Muhammad Takari, 1990. Kesenian Hadrah pada Kebudayaan Etnis Melayu di Deli Serdang dan Asahan: Studi Deskriptif Musikal. Medan: Skripsi Jurusan Enomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.
Ismail Hussein, 1978. The Study of Traditional Malay Literature with Selected Bibliography. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Langenberg, Michael van, 1976. “National Revolution in North Sumatra: Sumatra Timur and Tapanuli 1942-1950,” tesis doktor falsafah, Sydney: University of Sidney.
Nagata, Judith A., 1977. BKI, D.I.
Tengku Luckman Sinar, 1990. Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Melayu. Medan: Perwira.
Muhammad Takari bin Jilin Syahrial
Pendahuluan
Medan, Jalan Abdullah Lubis, Jumat 8 Januari 2011, ramai masyarakat dari berbagai golongan, suku, agama, datang di kediaman keluarga besar Tuanku Luckman Sinar Basarsyah II, Al-Haj, S.H. untuk satu tujuan bertakziah. Papan bunga memenuhi sisi kanan dan kiri badan Jalan Abdullah Lubis. Hari itu, seorang pemimpin besar Melayu yaitu Tuanku Luckman Sinar dipanggil oleh Allah Subhana Wataala ke hadirat-Nya, setelah sekitar seminggu berobat di salah satu rumah sakit di Kuala Lumpur, Malaysia. Masyarakat Kota Medan, Sumatera Utara, Indonesia, Dunia Melayu, dan Dunia Islam, sekali lagi kehilangan seorang pemimpinnya. Mereka berharap akan muncul pemimpin baru, selepas kepergian Tengku Luckman Sinar (TLS) ini.
Kemudian dalam rangka memperingati ketokohan Almarhum (Allahyarham), Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, menyelenggarakan Seminar Internasional tentang Pemikiran Tuanku Luckman Sinar Basarsyah II: Keindonesiaan dan Kemelayuan Mencari Tempat Tradisi di Wilayah Negara Indonesia. Oleh Panitia saya dipercayakan untuk menulis sebuah makalah tentang Pemikiran Tengku Luckman Sinar tentang Melayu sebagai Bingkai Kemajemukan Sumatera Utara. Kemudian tajuk ini saya tambah dengan Aplikasinya dalam Kesenian. Yang menjurus kepada disiplin yang penulis tekuni selama ini. Begitu juga pengalaman hidup bersama Allahyarham yang sebahagian besar berada di dalam domain kesenian dan budaya. Dengan senang hati dan mengucap Insya Allah, penulis menyanggupi untuk mendedahkan pemikiran Allahyarham semasa hidup mengenai Melayu sebagai bingkai kemajemukan (heterogenitas, multikultur) Sumatera Utara, juga pengalaman sebahagian hidup kami, dalam bekesenian, dan membina ilmu-ilmu budaya Melayu.
Untuk memerikan dua hal tersebut, penulis akan memakai panduan ilmu sejarah dan cara orang Melayu melihat, menghargai, mengapresiasi, dan menilai orang lain, termasuk seorang sultan, pemimpin, tokoh masyarakat, ayah (entu) kami, sahabat, guru, rekan, dan berbagai sosok yang lengkap menurut penulis. Inilah yang memandu penulis menguraikan pokok masalah tersebut.
Adapun yang dimaksud sejarah dalam tulisan ini adalah mengacu kepada pendapat seorang pakar sejarah yaitu Garraghan, sebagai berikut.
The term history stands for three related but sharply differentiated concepts: (a) past human events; past actuality; (b) the record of the same; (c) the process or technique of making the record.
The Greek istoria, which gives us the Latin historia, the French histoire, and English history, originally meant inquiry, investigation, research, and not a record of data accumulated thereby—the usual present-day meaning of the term. It was only at a later period that the Greeks attached to it the meaning of “a record or narration of the results of inquiry.” In current usage the term history may accordingly signify or imply any one of three things: (1) inquiry; (2) the objects of inquiry; (3) the record of the results of inquiry, corresponding respectively to (c), (a), and (b) above (Garraghan 1957:3).
Sementara untuk mengurai persepsi penulis terhadap ekesistensi TLS semasa hidupnya, terutama hubungan pribadi dan sosial kami, digunakan etnosains Melayu, yang terkodifikasi dalam ajaran adat Melayu. Adat Melayu ini diklasifikasikan dalam empat kategori yaitu: (a) adat yang sebenarnya adat, (b) adat yang diadatkan, (c) adat yang teradat, dan (d) adat istiadat. Adat Melayu ini didasari oleh ajaran-ajaran Islam, yang dikonsepkan oleh nenek moyang orang Melayu sebagai adat bersendikan syarak, dan syarak bersendikan kitabullah (ABS-SBK). Artinya dalam mengkaji eksistensi seorang manusia (hamba Allah) di muka bumi ini selama hidupnya lihatlah menurut perspektif agama Islam. Inilah yang penulis lakukan dalam rangka mengkaji pengalaman bersama TLS.
Agar uraian tidak meluas, maka penulis batasi kepada dua aspek saja, yaitu yang pertama adalah pemikiran atau konsep Allahyarham mengenai Melayu sebagai bingkai kemajemukan budaya Sumatera Utara. Kemudian yang kedua adalah penerapan kemajemukan dalam berkesenian. Ini adalah kinerja yang telah diberikan Tuhan kepada penulis dan TLS, yang bertungkus lumus di bidang seni budaya Melayu. Dua hal itu akan berdampak dalam rangka membina ilmu-ilmu tentang budaya Melayu yang sama diberikan Allah kepada kami. Kami ditakdirkan oleh Allah untuk berkecimpung di dunia akademis, khususnya di Fakultas Sastra USU, juga mengabdikan diri untuk senantiasa memberikan dan berbagi ilmu-ilmu mengenai budaya Melayu dalam masyarakat, baik di Medan, Sumaera Utara, Indonesia, atau Dunia Melayu yang lebih luas. Kami ditakdirkan Allah untuk selalu sama dalam mebagikan pengalaman keilmuan seputar budaya Melayu dalam bentuk seminnar, simposium, lokakarya, menulis artikel, buku, dan seterusnya.
Arahan Budaya Melayu dalam Memandang Pemimpin
Dalam kebudayaan Melayu, pemimpin (pimpinan) adalah hal yang penting untuk diwujudkn eksistensinya dalam rangka membentuk masyarakat yang madani. Seorang pemimpin akan menjadi “imam” kepada orang yang dipimpinnya. Pemimpin ini bisa berupa diri sendiri, pemimpin keluarga, pemimpin masyarakat desa, pemimpin adat, pemimpin angkatan perang, bahkan sampai sultan atau presiden. Pemimpin mestilah memberikan contoh yang terbaik bagi yang dipimpinnya.
Dalam kebudayaan Melayu seorang sultan atau raja dipandang sebagai wakil Allah di muka bumi ini. Seorang sultan setelah dinobatkan dengan menggunakan upacara penobaan, maka secara otomatis ia adalah pemimpin tertinggi di dalam institusi politik Melayu. Ia menjadi kepala ulama, kepala pemerintahan, kepala angkatan perang, dan dengan pertimbangan yang bijaksana ia dapat memutuskan apa yang akan diambil oleh negeri yang dipimpinnya.
Namun demikian, seorang pemimpin Melayu juga harus memperhatikan suara hati nurani rakyat yang dipimpinnya. Bahkan ada nilai-nilai keseimbangan pengawasan oleh rakyat dalam kebudayaan Melayu ang tercermin dalam ungkapan: raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah. Artinya setiap rakyat yang berada dalam kekuasaan raja Melayu bisa melakukan kritik kepada raja, jika sang raja melakukan kesalahan. Dalam sejarah Melayu, pertembungan antara kepentingan pemimpin dan kepentingan rakyat ini pernah terjadi di zaman kesultanan Melayu Melaka. Pada saat itu terjadi kritik rakyat terhadap kinerja sultan Melaka. Suara rakyat ini direspons oleh Hang Jebat dan suara sultan direspons oleh Hang Tuah. Akhirnya dua tokoh Hang ini saling bertempur dan akhirnya Hang Jebat kalah di tangan Hang Tuah.
Bagi orang Melayu seorang pemimpin harus ditaati, dihormati, dan diikuti perintah-perintahnya adalah sesuai dengan kanun Islam. Agama Islam menjadi dasar bagi kebijakan politik dan budaya dalam konteks peradaban masyarakat Melayu. Islam mengajaran bahwa seorang pemimpin tidak boleh terlalu dikultuskan seperti halnya Firaun di zaman Mesir Lama. Namun seorang pemimpin juga tidak boleh diremehkan oleh masyarakat yang dipimpinnya, walau ada kelemahan dalam kinerja kepemimpinannya. Sampaikan kritik melalui saluran sosial dan politik yang ada.
Seorang pemimpin cukuplah dihormati sebagai pimpinan dengan segala kelebihan dan kekurangannya sebagai wakil Allah di muka bumi. Pemimpin bisa salah dan juga bisa benar, karena dia tidaklah maksum (terhindar dari segala dosa). Dengan demikian, dalam rangka mengenang TLS, maka penulis merujuk kepada panduan budaya Melayu ini, yang juga dipegang oleh TLS semasa hidupnya dan itu pun diajarkannya kepada penulis.
Sejarah Perkenalan dengan TLS
Sebagaimana penjelasan tentang otobiografi ringkas beliau, TLS adalah putera Tuanku Sulaiman Syariful Alamshah, Sultan Kerajaan negeri Serdang. Dilahirkan di Istana Kota Galuh Bandar Setia Perbaungan, Deli Serdang, Sumatera Utara pada tanggal 27 Juli 1933. Pernah memimpin berbagai perusahaan dan aktif dalam bidang sosiobudaya dan sejarah. Berbagai tulisan dalam bentuk makalah dan buku telah ditulisnya dan dipublikasikannya, sebagai aset utama tulisan-tulisan sosiobudaya Melayu. Beliau juga memangku sebagai sultan Serdang kelima, yan selepas wafatnya digantikan oleh Tuanku Drs. Ahmad Thala’a. TLS dikenal sebagai sosok sejarawan aktif di Sumatera Utara. Berbagai publikasi sejarah baik secara mandiri atau tim telah diterbitkan secara pribadi atau oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Kabupaten Deli Serdang, dan lainnya. Ia juga pernah menjadi dosen tamu untuk mata kuliah Pengantar Masyarakat Kesenian di Indonesia (PMKI) di Fakultas Sastra tahun 1985-2000. Beliau juga berhasil mendidik anak-anaknya menjadi orang Melayu yang terpelajar, bahkan menyandang gelar kehormatan akademis profesor dan doktor.
Awal perkenalan penulis dengan Allahyarham adalah tahun 1984 Ketika itu ia mengajar mata kuliah Pengantar Masyarakat Kesenian Indonesia (PMKI) yang dikoordinasikan oleh Ibu Dra. Chalida Fachruddin, besama Rizaldi Siagian, M.A., dan Drs. Fadlin Djafar. Beliau mengajarkan bidang kesenian Melayu, yang di antara kuliahnya berisi materi tentang eksistensi musik dan tari Melayu secara umum, serampang dua belas, teater makyong dan mendu, serta beberapa genre tradisi lisan Melayu.
Pada awal pertemuan penulis ini, penulis menanyakan apa saja alat-alat musik dalam kebudayaan Melayu yang “asli” berasal dari kebudayaan Melayu, bukan diambil dari budaya luar. Dengan cekatan beliau menjawab bahwa alat-alat musik Melayu seperti yang penulis tanyakan itu di antaranya adalah: gendang ronggeng, gendang geduk, gendang silat (inai), kertok buloh, dan lain-lain. Alat-alat dari luar juga diadopsi oleh orang Melayu dan menjadi bahagian yang integral dari kebudayaan Melayu itu sendiri. Menurut beliau, biola misalnya jelas berasa dari Eropa, dan biola Eropa ini sendiri berasal dari rebab (rebec) Timur Tengah. Kemudian biola dan rebab itu kedua-duanya dijumpai di dalam kebudayaan Melayu.
Sejak saat itu, beliau selalu memberikan perhatian kepada penulis, terutama di bidang ilmu-ilmu seni dan budaya Melayu. Beberapa kali penulis dipercaya Entu untuk mewakili beliau di dalam seminar-seminar yang topik dan temanya mengkaji budaya dan seni Melayu. Oleh karena itu, Departemen Etnomusikologi memberikan wewenang kepada Rizaldi Siagian dan Tengku Luckman Sinar untuk membimbing penulisan skripsi strata satu saya yang bertajuk Kesenian Hadrah dalam Kebudayaan Melayu Deli Serdang dan Asahan: Studi Deskriptif Musikal, yang diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana seni di bidang Etnomusikologi di Fakultas Sastra USU Medan. Beliau dengan lugas dan berwawasan luas membimbing penulisan skripsi tersebut yang mengantarkan penulis menjadi seorang sarjana seni.
Hubungan sosial terus berlanjut. Di dekade 1990-an beliau adalah Ketua Bidang Seni Budaya. Fadlin, penulis, dan beliau membentuk Lembaga Kesenian Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (LK-MABMI), bersama-sama juga Dahlia Grup dan Sri Indra Ratu (SIR). Di tengah jalan, integrasi kelompok-keloompok seni Melayu ini mengalami perpecahan. Akhirnya beliau membentuk Sinar Budaya Group (SBG) bersama Fadlin, penulis, Syainul Irwan, dan para anggota-anggota seniman tari dan musik Melayu. Dalam perjalanannya SBG bagaimanapun turut melestarikan seni budaya Melayu di kawasan Sumatera Utara. Bahkan berbagai genre seni di luar Melayu juga selalu dibawakan oleh grup kesenian ini..
Dalam hal ini TLS berpikiran bahwa peradaban Melayu memiliki nilai-nilai untuk membingkai kebudayaan-kebudayaan etnik Nusantara ini dalam bentuk kesatuan dalam pelbagai perbedaan. Menurut penjelasan beliau dengan kami para pengurus SBG, Melayu adalah sebuah entitas yang luas mencakup kawasan Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Oseania, sampai ke Selandia Baru, dan Madagaskar. Kalau disatukan secara budaya mereka memiliki potensi yang dahsyat. Itu secebis pemikiran TLS tentang kesatuan dalam keanekaragaman, yang kemudian diterapkannya untuk bidang kesenian khususnya di SBG.
Dalam kaitannya dengan Pengurus Besar Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia, TLS menakhodainya dari 2001 sampai 2004. Dalam era kepemimpinanya ini, yang menonjol adalah pertunjukan budaya oleh Lembaga Kesenian MABMI, di samping kajian-kajian tentang kemelayuan.
Tahun 2010 sampai 2014 penulis dipercaya oleh Pengurus Besar Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (PB MABMI) menjadi Ketua Depatemen Adat, Seni, dan Budaya. Ini pun direspons oleh TLS bahwa teruskan perjuangan umat Melayu melalui adat dan seni. Beliau selalu memberikan arahan dan nasehat ke mana budaya Melayu ini akan kita bawa. Bahwa menurut beliau budaya Melayu jangan sampai tercerai-berai dengan Islam yang menjadi penggerak utama atau roh menyiasatinya. Itu yang penulis ingat ketika memberikan arahan saat penuls dilantik menjadi ketua departemen adat, seni, dan budaya PB MABMI. Bahkan di ujung hayatnya ia dengan eksplisit menyatakan bahwa tulislah terus tentang kebudayaan Melayu ini, agar dapat kita wariskan kepada generasi berikutnya.
Salah satu kerja besar TLS adalah dalam memperkenalkan seni budaya Melayu Sumatera Utara dan Nusantara ke manca negara, baik itu ke Singapura, Malaysia, Thailand, bahkan sampai ke Amerika Latin dan beberapa negeri Arab. Di antara kerja besar beliau adalah membawa SBG ke Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organization Petroleum Exporter Countries (OPEC) di Caracas, Venezuela, tahun 2001, yang disponsori oleh Pemerintah Repubik Indonesia. Persembahan SBG ini menjadi buah bibir di kalangan seniman di kawasan ini dan mancanegara.
Selain itu, TLS juga rajin menulis makalah untuk seminar-seminar yang berkaitan dengan adat dan seni Melayu. Ratusan makalah sudah ditulisnya dan puluhan buku tentang Melayu juga telah ditulis dan dipublikasikannya. Ini menjadi bahan yang berharga dalam rangka mengkaji dan mengembangkan kebudayaan Melayu Sumatera Timur ke masa depan.
Tahun 2010, di bulan Desember, TLS, beserta Abangnda Yose Rizal Firdaus, Muslim, penulis, dan Fadlin, mengisi seminar zapin yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Medan (DKM). Ini adalah seminar terakhir beliau di penghujung hayatnya, yang kemudian bertemu dengan Sang Khalik yang menciptakan beliau.
Sifat-sifat Dasar TLS
Sifat-sifat dasar TLS adalah suka menolong sesama. Ia bahkan rela membiayai para mahasiswa yang kuliah yang kemudian bisa mengabdi kepada beliau atau budaya Melayu. Ini ditunjukkannya dengan menafkahi hidup dan kuliah sang mahasiswa, bahkan diberi kendaraan sepeda motor untuk dapat menyelesaikan kuliahnya. Ia juga akan memberikan uang dengan cepat apabila ada pegawainya yang sakit atau ditimpa kesusahan. Bahkan biaya operasi pun ditanggungnya.
Selain itu, TLS paling suka memberi makan, siapa saja yang dianggapnya dekat dengan beliau. Memberi makan ini semacam ada kepuasan tersendiri baginya. Masih ingat dalam memori penulis, bahwa setiap bulan puasa, minimal sekali kami berbuka puasa bersama di restoran yang elit di Kota Medan ini. Beliau juga suka mengambil makanan yang ada di pinggan kami masing-masing dengan cara merata-rata. Itu adalah sepenggal sifat dasar beiau.
Selanjutnya, TLS adalah seorang pencinta seni sejati, khususnya seni pertunjukan. Bukan saja sebagai pencinta dan penikmat seni. Beliau juga suka memainkan alat-alat musik. Adapun alat-alat musik yang kerap dimainkannya adalah seperangkat timbales, gendang ronggeng Melayu, dan juga bass elektrik. Alat musik bass elektrik ini juga belaiu percayakan kepada penulis untuk memainkannya menggantikan beliau dalam sesebuah pertunjukan SBG. Dalam memainkan pola-pola ritme gendang Melayu dan timbales beliau suka memberikan improvisasi di sana-sini yang memperlihatkan jiwa merdekanya di alam seni, tidak dikungkung oleh dimensi ruang dan waktu dalam dimensi musik.
Sifat dasar TLS lainnya adalah menyelesaikan masalah secara cepat. Bahkan kadang dirugikan dengan keputusan yang cepat ini. Namun beliau mempunyai prinsip dalam mengambil keputusan dalam rangka manajerial beliau. Keputusan-keputusan yang dibuat beliau selain memperhitungkan kepentingan umum, juga adalah memperhitungkan kepentingan keluarganya. Ini yang dapat kami simak selama berkenalan dengan TLS semasa hidupnya.
TLS adalah seorang pemangku adat (sultan) Kerajaan Negeri Serdang. Pada saat pelantikannya ini, beliau memperlihatkan kewibawaan dan pluralitas etnik yang ada di Serdang. Kesenian yang dipertunjukkan juga melibakan seni Melayu, Simalungun, dan Karo, sebagai entitas utama Kerajaan Negeri Serdang. Ini memperlihatkan bahwa beliau adalah seorang yang menghargai perbedaan dalam kesatuan Kerajaan Serdang yang dipimpinnya.
Pemikiran TLS mengenai Melayu sebagai Bingkai Kemajemukan Kultural Sumatera Utara
Sebagai sejarawan dan ahli Melayu di bidang ilmu pengetahuan TLS juga memiliki pemikiran yang kreatif terhadap apa itu Melayu dan bagaimana kedudukan Melayu dalam kemajemukan budaya dan etnik yang ada di Sumatera Utara. Bagi beliau, Melayu sejak abad ke-13 adalah beridentitaskan Islam. Oleh karena itu beliau selalu mengutip pendapat sarjana asing yang mendefinisikan Melayu sebagai muslim, terutama dari Judith A. Nagata: A Malay one who Muslim, who habitually speaks Malay, who practises Malay adat, and who fulfills certain residence requirements (Nagata 1977:91).
Menurutnya orang Melayu ada di Siam Selatan, Malaysia Barat, Singapura, Brunei, dan di Malaysia Timur serta di Indonesia. Istilah yang sering didengar zaman dahulu masuk Melayu berarti masuk Islam. Di kawasan Indonesia, Melayu ini menjangkau wilayah sepanjang pesisir timur Sumatera. Dari Tamiang (Aceh Timur), pesisir timur Sumatera Utara, Provinsi Riau, Pesisir Jambi, serta Kalimantan Barat. Karena wilayahnya yang berada dalam jalur lalu lintas ramai, yaitu Selat Melaka dan Laut China Selatan itu, maka tidaklah mengherankan apabila masyarakat Melayu paling banyak mendapatkan pengaruh dari bangsa-bangsa lain seperti Siam, China, Arab, India, Persia, Portugis dan dari suku-suku tetangga seperti Batak, Jawa, dan lain-lain (Luckman Sinar 1990:2). Demikian pendapat TLS tentang suku Melayu, khususnya beranjak dari orang Melayu di Sumatera Utara.
Dalam ukuran ras yang lebih besar maka ras Melayu mencakup wilayah Asia Tenggara, sebagai pusatnya, sampai ke Madagaskar di wilayah Barat, Taiwan di utara, Oseania (Melanesia, Mikronesia, dan Polinesia) di timur, sampai ke Selandia Baru di Selatan. Demikian luas bentangan ras Melayu ini menurut pendapat beliau berdasarkan bahan-bahan kajiannya. Wilayah yang luas ini disebut dengan daerah kebudayaan Melayu-Polinesia atau Melayu-Austronesia.
Menurut TLS, masyarakat Melayu Sumatera Utara selain memiiiki ciri kebudayaan yang umum, juga memiliki ciri khas yang khusus terdapat di kawasan ini saja. Dalam berbagai seminar tentang identitas kemelayuan, maka ciri-ciri khas itu adalah tergambar dalam struktur kekerabatan, seperti yang diuraikan berikut ini.
Sistem kekerabatan etnik Melayu di Sumatera Utara, berdasar kepada hirarki vertikal adalah dimulai dari sebutan yang tertua sampai yang muda: (1) nini, (2) datu, (3) oyang (moyang), (4) atok (datuk), (5) ayah (bapak, entu), (6) anak, (7) cucu, (8) cicit, (9) piut, dan (10) entah-entah. Hirarki horizontal adalah: (1) saudara satu emak dan ayah, lelaki dan wanita; (2) saudara sekandung, yaitu saudara seibu, laki-laki atau wanita, lain ayah (ayah tiri); (3) saudara seayah, yaitu saudara laki-laki atau wanita dari satu ayah lain ibu (emak tiri); (4) saudara sewali, yaitu ayahnya saling bersaudara; (5) saudara berimpal, yaitu anak dari makcik, saudara perempuan ayah; (6) saudara dua kali wali, maksudnya atoknya saling bersaudara; (7) saudara dua kali impal, maksudnya atok lelaki dengan atok perempuan bersaudara, (8) saudara tiga kali wali, maksudnya moyang laki-lakinya bersaudara; (9) saudara tiga kali impal, maksudnya moyang laki-laki sama moyang perempuan bersaudara. Demikian seterusnya empat kali wali, lima kali wali, empat kali impal, dan lima kali impal. Sampai tiga kali impal atau tiga wali dihitung alur kerabat yang belum jauh hubungannya.
Dalam sistem kekerabatan Melayu Sumatera Utara dikenal tiga jenis impal: (1) impal larangan, yaitu anak-anak gadis dari makcik kandung, saudara perempuan ayah. Anak gadis makcik ini tidak boleh kawin dengan pihak lain tanpa persetujuan dari impal larangannya. Kalau terjadi, dan impal larangan mengadu kepada raja, maka orang tua si gadis didenda 10 tail atau 16 ringgit. Sebaliknya jika si gadis itu cacat atau buruk sekali rupanya, impal larangan wajib mengawininya untuk menutup malu "si gadis yang tak laku;" (2) impal biasa, yaitu anak laki-laki dari makcik; (3) impal langgisan, yaitu anak-anak dari emak-emak yang bersaudara.
Istilah impal ini, menurut TLS yang memberikan identitas khas kekerabatan etnik Melayu Sumatera Utara, yang tidak dijumpai dalam kebudayaan etnik Melayu di lain tempat. Istilah impal itu sendiri menurut beliau memiliki hubungan dengan etnik Karo, yang secara historis berasal dari satu kerajaan yang sama yaitu Kerajaan Haru. Bagi TLS struktur kekerabatan ini, memiliki hubungan dengan masyarakat suku-suku sekitar etnik Melayu yaitu Karo, Simalungun, Batak Toba, Mandailing-Angkola, dan Pakpak-Dairi yang menyebabkan khas struktur kekerabatan tempatan.
Bagi TLS berbagai etnik di Sumatera Utara ini dapat dipersatukan oleh peradaban Melayu, yang itu dibuktikan sejak masa kesultanan hingga sekarang ini. Pertama, pada masa kesultanan Melayu berbagai kelompok etnik Batak Toba, Mandailing-Angkola, Simalungun, dan Karo hijrah ke daerah kesultanan Melayu dan masuk Melayu. Bagi mereka ini semua hak dan kewajiban adalah sama dengan orang Melayu. Begitu juga suku Minangkabau, Jawa, dan Aceh yang datang ke daerah kesultanan Melayu masuk menjadi warga Melayu dan merupakan aset insani yang tidak ternilai harganya bagi kesultanan Melayu. Bahkan menurut kajian TLS, kesultanan Serdang sendiri dibentuk oleh perpaduan darah-darah keturunan Melayu, Simalungun, Karo, Minangkabau, Jawa, Tionghoa, Eropa, dan lainnya Jadi secara dasarnya orang Melayu sudah sangat menghargai keanekarangaman budaya yang juga terekspresi dalam konteks Sumatera Utara, Indonesia, dan Dunia Melayu.
Selepas kemerdekaan, upaya melayunisasi ini mengalami degradasi, masyarakat tadi sebahagian kembali mencari keturunan darahnya dan memakai marga, namun tetap memegang teguh nilai-nilai kemelayuan. Bagi TLS ini adalah wajar terjadi di alam demokrasi yang sangat menghargai hak individu. Namun dalam pemikiran beliau, Melayu masih menjadi salah satu pilihan membingkai integrasi sosial mereka. Minimal itu dapat dilihat di dalam penggunaan bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di antara mereka. Selain itu, berbagai tradisi ritual Melayu diunakan oleh berbagai kelompok etnik tersebut, seeprti upacara tepung tawar, nasi balai, pakaian ala Melayu, masakan khas Melayu yang juga menjadi identitas kultural bersama. Jadi dalam pemikiran TLS budaya Melayu dapat membingkai keanekaragaman budaya dalam suasana integrasi sosial.
Aplikasi Kemajemukan Budaya Nusantara dalam Kesenian
Eksistensi kemajemukan kebudayaan Sumatera Utara yang perlu dihargai dan dilestarikan tidak hanya cukup dalam tahap ide saja. TLS mengaplikasikan gagasannya ini ke dalam bidang kesenian yang tentu saja diterapkan ke Sinar Budaya Group (SBG). Berbekal ide keanekaragaman budaya itu, maka SBG di dasawarsa 1990-an sampai 2000-an dalam repertoarnya memasukkan semua unsur etnik Sumatera Utara dan Nusantara. Di antara repertoar Sumatera Utara itu adalah: (a) Tortor saoan dan Somba-somba dari budaya Batak Toba bersama Gondang Sabangunan. Untuk keperluan ini pun beliau memasukkan pemusik Toba seperti Martogi Sitohang dan Oktavianus Matondang sebagai pemainnya, tidak mesti orang Melayu. (b) Tari Shaman dan Dabus dari Aceh, yang juga mendatangkan pemain dabus Aceh yaitu Nazaruddin, yang dibawa pertunjukan ke Malaysia, Singapura, bahkan sampai ke Venezuela, (c) Tortor Sabe-sabe, dari kawasan Mandailing-Angkola dan juga Gordang Sambilan dan gondang dua Mandailing-Angkola, yang biasa dimainkan oleh Fadlin, Muhammad Takari, Datuk Fauzi, dan kawan-kawan untuk bidang musik dan tari oleh Riri Virzan Putri dan kawan-kawan, (d) Gendang keyboard dan lima sedalanen Karo, yang juga mengambil pemusik Karo, juga tari-tarian Karo seperti Piso Surit dan Biring Manggis, (e) Tari maena atau tari perang dari etnik Nias juga mendapatkan porsi dalam rangka seni multikultur di SBG ini, (f) Tari Rantak Minangkabau beserta iringan gendang dol Minangkabau dan ensambel talempongnya, (g) tari Klono Topeng dari Jawa Timur juga ditampilkan oleh kelompok kesenian SBG ini, (h) Tari Baris dari Bali juga menjadi salah satu repertoar grup seni SBG yang diimpin oleh TLS.
Penerapan multikultur ala SBG ini tidak lepas pula dari peran kami pendukung SBG, yang menginginkan ekspresi multikultur Sumatera Utara dan Nusantara dalam bentuk seni budaya. Hal ini sejalan pula dengan konsep ketatanegaraan kita yang menghargai perbedaan dalam kesatuan yang tercermin dalam filsafat bhinneka tunggal ika.
TLS juga termasuk seorang yang tidak anti terhadap perubahan zaman, yang dihayatinya dari ajaran budaya Melayu. Bahwa perubahan itu pasti terjadi, jadi jangan menolak perubahan. Dalam berkesenian pun ia mencoba membuat perubahan di sani-sini sesuai dengan tuntutan zaman. Dalam budaya Melayu dikatakan sekali air bah, sekali tepian berubah. Artinya perubahan pasti terjadi sesuai dimensi ruang dan waktu yang dilalui sesebuah peradaban, termasuk perdaban Melayu. Dalam rangka mengikuti perubahan ini, TLS juga melakukan pembaharuan di bidang seni seperti memasukkan nilai-nilai musik dan tari pop dunia, memasukkan unsur-unsur budaya Asia Tengah ke dalam zapin, dan seterusnya, yang menjadikan seni garapan baru menjadi lebih hidup dan dinamis.
Penutup
Bahwa semasa hidupnya TLS adalah seorang pemikir dan praktisi budaya, yang berdasar kepada konsep bhinneka tunggal ika. Baginya budaya Melayu dapat menjadi penaung atau bingkai integrasi sosiobudaya masyarakat Sumatera Utara yang multikultur. Identitas Melayu sendiri pun menghargai perbedaan ini, dan orang Melayu terbuka menerima etnik lain untuk masuk Melayu. Jadi menurut TLS berbicara Melayu Sumatera Utara berarti berbicara keanekaragaman etnik yang ada di Sumatera Utara. Membicarakan keberagaman etnik tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai integrasi yang telah berakar di dalam kebudayaan Melayu.
Beliau sebagai pemikir identitas Melayu, kemajemukan etnik Nusantara, berpikir bahwa eksistensi yang heterogen ini memiliki berbagai unsur persamaan, yang terdapat dan terkandung di dalam kebudayaan Melayu. Baginya Melayu dapat membingkai keanekaragaman ini dalam daya kesatuan yang kuat dan dinamis. Demikian ulasan penulis. Wassalam.
Bibliografi
Barth, Fredrik, 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Blagden, C.O., 1989 “The Name Melayu”, Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society.
Hall, D.G.E., 1968. A History of South East Asia. New York: St. Martin Press. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia, D.G.E. Hall, 1988. Sejarah Asia Tenggara, diterjemahkan oleh I.P. Soewasha dan terjemahan disunting oleh M. Habib Mustopo. Surabaya: Usaha Nasional.
Garraghan, Gilbert J.,S.J., 1957. A Guide to Historical Method. East Fordham Road, New York: Fordham University Press.
Geldern, Robert Heine. 1972. Konsepsi tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara. Jakarta: Rajawali Press.
Muhammad Takari, 1990. Kesenian Hadrah pada Kebudayaan Etnis Melayu di Deli Serdang dan Asahan: Studi Deskriptif Musikal. Medan: Skripsi Jurusan Enomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.
Ismail Hussein, 1978. The Study of Traditional Malay Literature with Selected Bibliography. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Langenberg, Michael van, 1976. “National Revolution in North Sumatra: Sumatra Timur and Tapanuli 1942-1950,” tesis doktor falsafah, Sydney: University of Sidney.
Nagata, Judith A., 1977. BKI, D.I.
Tengku Luckman Sinar, 1990. Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Melayu. Medan: Perwira.
PROF. TENGKU AMIN RIDWAN, PH.D.:
GURU BESAR LINGUISTIK USU IKON PERADABAN MELAYU
Muhammad Takari bin Jilin Syahrial
Pengenalan
Bagi kita semua, jika disebutkan nama Prof. H. Tengku Amin Ridwan, Ph.D., pastilah merujuk kepada kenangan kita semasa beliau semasih hidup sebagai ilmuwan (guru besar) linguistik dan aktivitasnya di dalam kebudayaan Melayu di kawasan ini. Ia memiliki perhatian dan keperdualian yang begitu besar terhadap eksistensi kebudayaan Melayu. Untuk itu, sesuai dengan pengalaman kehidupan beliau sebagai ilmuwan di bidang linguistik, maka ia berusaha sekuat tenaga mengkaji dan kemudian aktif mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan Melayu secara umum, melalui sebuah institusi sosial budaya yang dinakhodainya yaitu Majelis Adat Budaya melayu Indonesia.
Latar Belakang Kehidupan
Secara wilayah kebudayaan, Prof. H. Tengku Amin Ridwan, Ph.D. adalah seorang warga Melayu Serdang, dan sebagai zuriat dari para raja-raja Kesultanan Serdang, Sumatera Timur. Beliau lahir di Medan, Sumatera Utara, pada tanggal 23 April 1935. Ia lahir, tumbuh, berkembang, dan besar di Sumatera Utara, di era menuju dan Indonesia merdeka, yang pada masa itu mengalami berbagai perubahan-perubahan sosiopolitis. Namun beliau sangat cerdas dalam membaca tanda-tanda zaman ini, dengan cara menuntut ilmu setinggi-setingginya, dan difungsikannya bagi masyarakat Melayu dan bangsa Indonesia secara umum.
Pendidikan
Dari sisi akademiknya, Tengku Amin Ridwan menamatkan pendidikan di Algemene Lagere School (ALS) Medan tahun 1951; kemudian melanjukan studi ke Middelbare School (MS) Medan dan menamatkannya tahun 1954. Selepas itu, beliau meneruskan pendidikannya di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) Medan, dan menamatkan pendidikannya ini pada tahun 1957. Tahun 1960 menyelesikan studi Sarjana Muda Pendidikan pada Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, sebagai embrio IKIP Negerti Medan yang kini berubah menjadi Universitas Negeri Medan atau akronimnya Unimed) USU, Medan. Tidak cukup sampai di situ saja, tahun 1963, Tengku Amin Ridwan menyelesaikan Sarjana Pendidikan pada Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Universitas Sumatera Utara, Medan. Selepas itu, pada tahun 1970 lulus dari program Post-Graduate Diploma (First Class), English Language Institute (ELI) Victoria University Wellington, New Zealand (Selandia Baru). Berikutnya di puncak paling atas pendidikan akademiknya, tahun 1976 meraih gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) di bidang linguistik dari Monash University, Melbourne, Australia.
Pengabdian untuk Bangsa dan Umat Manausia
Pada masa hidupnya, Prof. H. Tengku Amin Ridwan, Ph.D., adalah dikenali sebagai guru besar (profesor) Universitas Sumatera Utara dan Kepala Pusat Kajian Bahasa Universitas Sumatera Utara. Ia sangat dikenali juga sebagai Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara di era 1980-an. Di masa beliau menjabat dekan ini, maka ia sekuat tenaga mendirikan berbagai program studi (jurusan) baru di lingkungan Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Pada masa beliaulah perkembangan prodi ini begitu pesat. Selain Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, juga ada Sastra Inggris, Bahasa Inggris D3, Ilmu Sejarah, dan prodi-podi yang baru adalah: Antropologi, Sastra dan Bahasa Daerah (Melayu dan Batak), Etnomusikologi, Ilmu Peropustakaan, Perpustakaan D3, yang kemudian di era dekan-dekan berikutnya dibuka pula Bahasa Jepang, Bahasa Jepanbg D3, Sastra China, juga Program Studi magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Magister Ilmu Sejarah, Magister Bahasa Inggris, juga Magister Kajian Timur Tengah. Selain itu ada pula Magister Linguistik dan Prgram Doktoral Linguistik (yang dibuka di masa kepemimpinan beliau, dan bernaung di bawah Program Pascasajana USU awalnya, kemudian diintegrasikan ke Falutas Ilmu Budaya USU). Perkembangan keilmuan baik secara ekstensif maupun intensif ini,tidak dapat dilepaskan dari peran seorang Tengku Amin Ridwan.
Tengku Amin Ridwam aktif mengajar di berbagai universitas baik di luar maupun dalam negeri seperti Tutor Victoria University, Wellington, New Zeland (1970); Senior Tutor Department of Malay and Indonesian Studies, Monash University, Melbourne, Australia (1973—1974); Lecturer Department of Malay and Indonesian Studies, Monash University, Melbourne, Australia (1974-1975); Visiting Professor Department of Phonetics and Linguistics UCLA, Los Angeles, USA (1981); Visiting Professor San Diego State University California, USA (1983); Dosen Luar Biasa IAIN Sumatera Utara (1976-1978); Dosen Luar Biasa ABA (Akademi Bahasa Asing) Harapan Medan (1976-1978); Dosen Luar Biasa Fakultas Sastra Universitas Islam Medan (1977); Dosen Luar Biasa Universitas Methodis Indonesia, Medan (1978), dan lain-lainnya.
Tengku Amin Ridwan juga aktif di berbagai organisasi sosial budaya, antara lain sebagai Ketua Ikatan Sarjana Linguistik Indonesia (ISLI), Medan (1976-1980); Komisaris Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) untuk Medan (1980-1982); Ketua Umum Pengurus Harian Yayasan Panca Karya, Sumatera Utara (1984); anggota Pengurus Harian Yayasan Bhakti Negara, Pangkalan Brandan (1985); Anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Provinsi Sumatera Utara.
Selain itu, jabatan yang pernah diembannya antara lain Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera (1978 dan 1981-1985); Ketua Pusat Kajian Bahasa USU (1979); Editor/Penilai Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Jakarta (1982); Ketua Lembaga Kesenian USU (1983). Tentu saja beliau adalah sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia, sejak tahun 1973 sampai tahun 2000.
Sebagi ketua umum MABMI Tengku Amin Ridwan mengupayakan lembaga ini untuk kepentingan umat Melayu. Di antara usaha beliau adalah mendata unsur-unsur kebudayaan Melayu, khususnya Sumatera Utara, baik itu dari sudut atau unsur bahasa, sastra, kesenian, perekonomian, agama, organisasi sosial, adat, dan lainnya. Beliau aktif melakukan penelitian kebudayaan Melayu, yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku maupun jurnal. Beliau juga bersama para pengurus PB MABMI selama kepemimpinannya rajin melakukan muhibah seni budaya ke mancanegara terutama Malaysia, Singapura, dan Thailand. Demikian juga bekerjasama dengan Etnomusikologi yang dibentuknya melakukan pertunjukan seni budaya ke Australia, Jerman, Belanda, Inggris, Amerika Serikat, dan lain-lainnya. Ia juga aktif menyelenggarakan seminar-seminar baik yang bertaraf nasional maupun internasional tentang kebudayaan Melayu.
Karya-karya Tulisan
Beberapa karya ilmiah yang telah ditulis Tengku Amin Ridwan antara lain adalah: Constrastive Study Between Bahasa Indonesia and Australia English Phonetics and Orthography (1976); Catatan Tentang Bahasa dan Glotto Functemes (1977); Analisis Kontrastif dalam Pengajaran Bahasa (1979); Linguistik Kontrastif (1980); Pemeliharaan Seni Budaya Sumatera Utara, Khazanah Budaya Bangsa (1980); Language and Culture, Seminar fur Indonesische Sprache (1981); Sikap Bahasa Terhadap Khazanah Budaya Bangsa (1981); Introcuction to Linguistics (1982); The Nations of Graphemes, Nuncemes, and Nuncemes Bases (1982); Introductions to Phonetics (1982); Language Skill Orientation Program (1983); Tinjauan Mengenai Komunikasi Lisan Bahasa (1983); Bahasa dan Kebudayaan Melayu (1984); Bahasa Press di Sumatera Utara (1985); Film dan Pembinaan Generasi Muda (1985), dan sebagainya.
Pendapat Beberapa Kalangan tentang Tenku Amin Ridwan
Sebagi seorang tokoh pendidikan di Sumatera Utara yang terkenal, beliau meninggalkan jasa-jasa yang tak terhingga untuk negeri ini. Berikut ini adalah pendapat atau pandangan dari tiga orang tokoh pendidikan, yaitu seorang ketua Yayasan UISU dan dua guru besar linguistik mancanegara tentang sosok Tengku Amin Ridwa.
Hj. Sariani AS (Ketua Yayasan UISU), menyatakan kesantunan komunikasi dan keilmuan Tengku Amin Ridwan sebagai berikut. Sosok pribadi Tengku Amin Ridwan adalah anak manusia yang memiliki dedikasi tinggi terhadap ilmu yang ditekuninya. Sopan santun dalam berbahasa begitu kental melekat pada diri beliau pada saat menularkan keilmuannya yang dimilikinya kepada para peserta didik maupun dosen binaannya. Sapaan santun ini juga kelihatan kentara dalam melakukan interkasi sesama koleganya maupun kepada kami pribadi. Beliau adalah sosok yang memiliki sifat ramah, lembut, cerdas, dan cemerlang pemikirannya, baik terhadap semua orang dan komit terhadap ilmu yang ditekuninya. Pendek kata berhubungan dengan dan berkomunikasi dengan beliau selalu saja menimbulkan kegairahan untuk mendalami ilmu pengetahuan umumnya dan berbahasa khususnya. Bagi kami inilah yang sangat membanggakan dari diri beliau. (Dikutip dari buku Bahasa Sastra dan Budaya dalam Untaian Karya: Sebuah Cemetuk Persembahan untuk Prof. H.T.A. Ridwan, Ph.D. dalam Rangka HUT Ke-70 dan Purnabakti, T. Thyrhaya Zein dkk (eds.), 2005. Medan: USU Press, p. 357.
Kemudian, Michael Chyne dari University of Melbourne, Monash University, menyatakan: “I am delighted to be able to wish Professor T. Amin Ridwan well on his retirement. Althought I do not know him very well personality. I remember him as one of the early graduate students in the Department of Linguistics at Monash University when I was in the German Departments there. His contribution as a catalyst in Linguistics theaching and research in Indonesia is very much appreciated also in this country , and many with connection to the Monash Department of Linguistics are proud that he is an alumnus of the Department. I know that Professor Ridwan has established a Graduate Program of high repute at the Universitas Sumatera Utara and my colleague, Dr. Peter Paul, speaks glowingly of the program and its products. My very best wishes to Professor Ridwan for a healthy, happy, and productive period beyond university employment.” (Dikutip dari buku Bahasa Sastra dan Budaya dalam Untaian Karya: Sebuah Cemetuk Persembahan untuk Prof. H.T.A. Ridwan, Ph.D. dalam Rangka HUT Ke-70 dan Purnabakti, T. Thyrhaya Zein dkk (eds.), 2005. Medan: USU Press, p. 359.
Di sisi lain, Peter Paul (University of Melbourne, Monash University): “On the very honoured to have been given the joy and pride of having had the opportunity to be associated with the establishment at the S2 program in the Linguistic at USU – one of the many achievements in the career of Professor Ridwan. As I have long since experienced, retirement does not mean slumping into anactivity. For most of us, one of the joy of the post employment period in the opportunity og bringings to fruition unfisnished projects papers to be completed, research in the finalised. It also provides to the possibility of branching cut into new areas or to develop new skills and interests. Pak Amin, may I add my heartfelt wishes to those offered by the many people whise life you will have touched in your lonf career. Semper floreat.” (Dikutip dari buku Bahasa Sastra dan Budaya dalam Untaian Karya: Sebuah Cemetuk Persembahan untuk Prof. H.T.A. Ridwan, Ph.D. dalam Rangka HUT Ke-70 dan Purnabakti, T. Thyrhaya Zein dkk (eds.), 2005. Medan: USU Press, p. 361.
GURU BESAR LINGUISTIK USU IKON PERADABAN MELAYU
Muhammad Takari bin Jilin Syahrial
Pengenalan
Bagi kita semua, jika disebutkan nama Prof. H. Tengku Amin Ridwan, Ph.D., pastilah merujuk kepada kenangan kita semasa beliau semasih hidup sebagai ilmuwan (guru besar) linguistik dan aktivitasnya di dalam kebudayaan Melayu di kawasan ini. Ia memiliki perhatian dan keperdualian yang begitu besar terhadap eksistensi kebudayaan Melayu. Untuk itu, sesuai dengan pengalaman kehidupan beliau sebagai ilmuwan di bidang linguistik, maka ia berusaha sekuat tenaga mengkaji dan kemudian aktif mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan Melayu secara umum, melalui sebuah institusi sosial budaya yang dinakhodainya yaitu Majelis Adat Budaya melayu Indonesia.
Latar Belakang Kehidupan
Secara wilayah kebudayaan, Prof. H. Tengku Amin Ridwan, Ph.D. adalah seorang warga Melayu Serdang, dan sebagai zuriat dari para raja-raja Kesultanan Serdang, Sumatera Timur. Beliau lahir di Medan, Sumatera Utara, pada tanggal 23 April 1935. Ia lahir, tumbuh, berkembang, dan besar di Sumatera Utara, di era menuju dan Indonesia merdeka, yang pada masa itu mengalami berbagai perubahan-perubahan sosiopolitis. Namun beliau sangat cerdas dalam membaca tanda-tanda zaman ini, dengan cara menuntut ilmu setinggi-setingginya, dan difungsikannya bagi masyarakat Melayu dan bangsa Indonesia secara umum.
Pendidikan
Dari sisi akademiknya, Tengku Amin Ridwan menamatkan pendidikan di Algemene Lagere School (ALS) Medan tahun 1951; kemudian melanjukan studi ke Middelbare School (MS) Medan dan menamatkannya tahun 1954. Selepas itu, beliau meneruskan pendidikannya di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) Medan, dan menamatkan pendidikannya ini pada tahun 1957. Tahun 1960 menyelesikan studi Sarjana Muda Pendidikan pada Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, sebagai embrio IKIP Negerti Medan yang kini berubah menjadi Universitas Negeri Medan atau akronimnya Unimed) USU, Medan. Tidak cukup sampai di situ saja, tahun 1963, Tengku Amin Ridwan menyelesaikan Sarjana Pendidikan pada Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Universitas Sumatera Utara, Medan. Selepas itu, pada tahun 1970 lulus dari program Post-Graduate Diploma (First Class), English Language Institute (ELI) Victoria University Wellington, New Zealand (Selandia Baru). Berikutnya di puncak paling atas pendidikan akademiknya, tahun 1976 meraih gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) di bidang linguistik dari Monash University, Melbourne, Australia.
Pengabdian untuk Bangsa dan Umat Manausia
Pada masa hidupnya, Prof. H. Tengku Amin Ridwan, Ph.D., adalah dikenali sebagai guru besar (profesor) Universitas Sumatera Utara dan Kepala Pusat Kajian Bahasa Universitas Sumatera Utara. Ia sangat dikenali juga sebagai Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara di era 1980-an. Di masa beliau menjabat dekan ini, maka ia sekuat tenaga mendirikan berbagai program studi (jurusan) baru di lingkungan Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Pada masa beliaulah perkembangan prodi ini begitu pesat. Selain Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, juga ada Sastra Inggris, Bahasa Inggris D3, Ilmu Sejarah, dan prodi-podi yang baru adalah: Antropologi, Sastra dan Bahasa Daerah (Melayu dan Batak), Etnomusikologi, Ilmu Peropustakaan, Perpustakaan D3, yang kemudian di era dekan-dekan berikutnya dibuka pula Bahasa Jepang, Bahasa Jepanbg D3, Sastra China, juga Program Studi magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Magister Ilmu Sejarah, Magister Bahasa Inggris, juga Magister Kajian Timur Tengah. Selain itu ada pula Magister Linguistik dan Prgram Doktoral Linguistik (yang dibuka di masa kepemimpinan beliau, dan bernaung di bawah Program Pascasajana USU awalnya, kemudian diintegrasikan ke Falutas Ilmu Budaya USU). Perkembangan keilmuan baik secara ekstensif maupun intensif ini,tidak dapat dilepaskan dari peran seorang Tengku Amin Ridwan.
Tengku Amin Ridwam aktif mengajar di berbagai universitas baik di luar maupun dalam negeri seperti Tutor Victoria University, Wellington, New Zeland (1970); Senior Tutor Department of Malay and Indonesian Studies, Monash University, Melbourne, Australia (1973—1974); Lecturer Department of Malay and Indonesian Studies, Monash University, Melbourne, Australia (1974-1975); Visiting Professor Department of Phonetics and Linguistics UCLA, Los Angeles, USA (1981); Visiting Professor San Diego State University California, USA (1983); Dosen Luar Biasa IAIN Sumatera Utara (1976-1978); Dosen Luar Biasa ABA (Akademi Bahasa Asing) Harapan Medan (1976-1978); Dosen Luar Biasa Fakultas Sastra Universitas Islam Medan (1977); Dosen Luar Biasa Universitas Methodis Indonesia, Medan (1978), dan lain-lainnya.
Tengku Amin Ridwan juga aktif di berbagai organisasi sosial budaya, antara lain sebagai Ketua Ikatan Sarjana Linguistik Indonesia (ISLI), Medan (1976-1980); Komisaris Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) untuk Medan (1980-1982); Ketua Umum Pengurus Harian Yayasan Panca Karya, Sumatera Utara (1984); anggota Pengurus Harian Yayasan Bhakti Negara, Pangkalan Brandan (1985); Anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Provinsi Sumatera Utara.
Selain itu, jabatan yang pernah diembannya antara lain Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera (1978 dan 1981-1985); Ketua Pusat Kajian Bahasa USU (1979); Editor/Penilai Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Jakarta (1982); Ketua Lembaga Kesenian USU (1983). Tentu saja beliau adalah sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia, sejak tahun 1973 sampai tahun 2000.
Sebagi ketua umum MABMI Tengku Amin Ridwan mengupayakan lembaga ini untuk kepentingan umat Melayu. Di antara usaha beliau adalah mendata unsur-unsur kebudayaan Melayu, khususnya Sumatera Utara, baik itu dari sudut atau unsur bahasa, sastra, kesenian, perekonomian, agama, organisasi sosial, adat, dan lainnya. Beliau aktif melakukan penelitian kebudayaan Melayu, yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku maupun jurnal. Beliau juga bersama para pengurus PB MABMI selama kepemimpinannya rajin melakukan muhibah seni budaya ke mancanegara terutama Malaysia, Singapura, dan Thailand. Demikian juga bekerjasama dengan Etnomusikologi yang dibentuknya melakukan pertunjukan seni budaya ke Australia, Jerman, Belanda, Inggris, Amerika Serikat, dan lain-lainnya. Ia juga aktif menyelenggarakan seminar-seminar baik yang bertaraf nasional maupun internasional tentang kebudayaan Melayu.
Karya-karya Tulisan
Beberapa karya ilmiah yang telah ditulis Tengku Amin Ridwan antara lain adalah: Constrastive Study Between Bahasa Indonesia and Australia English Phonetics and Orthography (1976); Catatan Tentang Bahasa dan Glotto Functemes (1977); Analisis Kontrastif dalam Pengajaran Bahasa (1979); Linguistik Kontrastif (1980); Pemeliharaan Seni Budaya Sumatera Utara, Khazanah Budaya Bangsa (1980); Language and Culture, Seminar fur Indonesische Sprache (1981); Sikap Bahasa Terhadap Khazanah Budaya Bangsa (1981); Introcuction to Linguistics (1982); The Nations of Graphemes, Nuncemes, and Nuncemes Bases (1982); Introductions to Phonetics (1982); Language Skill Orientation Program (1983); Tinjauan Mengenai Komunikasi Lisan Bahasa (1983); Bahasa dan Kebudayaan Melayu (1984); Bahasa Press di Sumatera Utara (1985); Film dan Pembinaan Generasi Muda (1985), dan sebagainya.
Pendapat Beberapa Kalangan tentang Tenku Amin Ridwan
Sebagi seorang tokoh pendidikan di Sumatera Utara yang terkenal, beliau meninggalkan jasa-jasa yang tak terhingga untuk negeri ini. Berikut ini adalah pendapat atau pandangan dari tiga orang tokoh pendidikan, yaitu seorang ketua Yayasan UISU dan dua guru besar linguistik mancanegara tentang sosok Tengku Amin Ridwa.
Hj. Sariani AS (Ketua Yayasan UISU), menyatakan kesantunan komunikasi dan keilmuan Tengku Amin Ridwan sebagai berikut. Sosok pribadi Tengku Amin Ridwan adalah anak manusia yang memiliki dedikasi tinggi terhadap ilmu yang ditekuninya. Sopan santun dalam berbahasa begitu kental melekat pada diri beliau pada saat menularkan keilmuannya yang dimilikinya kepada para peserta didik maupun dosen binaannya. Sapaan santun ini juga kelihatan kentara dalam melakukan interkasi sesama koleganya maupun kepada kami pribadi. Beliau adalah sosok yang memiliki sifat ramah, lembut, cerdas, dan cemerlang pemikirannya, baik terhadap semua orang dan komit terhadap ilmu yang ditekuninya. Pendek kata berhubungan dengan dan berkomunikasi dengan beliau selalu saja menimbulkan kegairahan untuk mendalami ilmu pengetahuan umumnya dan berbahasa khususnya. Bagi kami inilah yang sangat membanggakan dari diri beliau. (Dikutip dari buku Bahasa Sastra dan Budaya dalam Untaian Karya: Sebuah Cemetuk Persembahan untuk Prof. H.T.A. Ridwan, Ph.D. dalam Rangka HUT Ke-70 dan Purnabakti, T. Thyrhaya Zein dkk (eds.), 2005. Medan: USU Press, p. 357.
Kemudian, Michael Chyne dari University of Melbourne, Monash University, menyatakan: “I am delighted to be able to wish Professor T. Amin Ridwan well on his retirement. Althought I do not know him very well personality. I remember him as one of the early graduate students in the Department of Linguistics at Monash University when I was in the German Departments there. His contribution as a catalyst in Linguistics theaching and research in Indonesia is very much appreciated also in this country , and many with connection to the Monash Department of Linguistics are proud that he is an alumnus of the Department. I know that Professor Ridwan has established a Graduate Program of high repute at the Universitas Sumatera Utara and my colleague, Dr. Peter Paul, speaks glowingly of the program and its products. My very best wishes to Professor Ridwan for a healthy, happy, and productive period beyond university employment.” (Dikutip dari buku Bahasa Sastra dan Budaya dalam Untaian Karya: Sebuah Cemetuk Persembahan untuk Prof. H.T.A. Ridwan, Ph.D. dalam Rangka HUT Ke-70 dan Purnabakti, T. Thyrhaya Zein dkk (eds.), 2005. Medan: USU Press, p. 359.
Di sisi lain, Peter Paul (University of Melbourne, Monash University): “On the very honoured to have been given the joy and pride of having had the opportunity to be associated with the establishment at the S2 program in the Linguistic at USU – one of the many achievements in the career of Professor Ridwan. As I have long since experienced, retirement does not mean slumping into anactivity. For most of us, one of the joy of the post employment period in the opportunity og bringings to fruition unfisnished projects papers to be completed, research in the finalised. It also provides to the possibility of branching cut into new areas or to develop new skills and interests. Pak Amin, may I add my heartfelt wishes to those offered by the many people whise life you will have touched in your lonf career. Semper floreat.” (Dikutip dari buku Bahasa Sastra dan Budaya dalam Untaian Karya: Sebuah Cemetuk Persembahan untuk Prof. H.T.A. Ridwan, Ph.D. dalam Rangka HUT Ke-70 dan Purnabakti, T. Thyrhaya Zein dkk (eds.), 2005. Medan: USU Press, p. 361.