KONSEP KEBUDAYAAN DAN KESENIAN DALAM ISLAM
Muhammad Takari bin Jilin Syahrial
Pengantar
Secara rasial etnik atau masyarakat, orang-orang Melayu mengakui berbagai agama yang dianut oleh orang rumpun Melayu. Namun dalam pengertian lebih sempit, orang-orang Melayu sejak abad ke-13 mengidentitaskan pula dirinya sebagai seorang muslim, seperti yang ada di kawasan Nusantara ini. Ini tidak bermakna bahwa orang Melayu tidak menghargai perbedaan akan adanya agama lain. Masuknya Islam sebagai bahagian dari identitas Melayu ini, sesuai dengan ajaran Islam, masuklah Islam secara menyeluruh, termasuk dalam budaya. Dengan demikian, maka segala kebudayaan Melayu selalu merujuk kepada ajaran Islam.
Konsep Kebudayaan dalam Islam
Istilah kebudayaan memang tak asing bagi kita khususnya yang berkecimpung di dunia ini, apakah itu sebagai agamawan, budayawan, seniman, penikmat budaya, pelaku budaya dan seni dan lainnya. Namun kita juga sering bertanya apakah setiap agama, masyarakat, ras, dan etnik, memiliki persepsi sendiri tentang kebudayaan. Apakah terdapat persepsi yang sifatnya umum atau khusus dalam memandang budaya? Begitu juga halnya dengan agama Islam. Bagaimaan konsep kebudayaan dalam pandangan Islam?
Secara saintifik, kebudayaan dibahas secara luas dan mendalam dalam sains antropologi ataupun sosiologi. Seperti yang diuraikan di dalam antropologi, banyak para pakar kebudayaan mendefinisikan kata kebudayaan atau dalam adanan Inggrisnya culture. Sampai tahun 1950 paling tidak ada 179 definisi kebudayaan yang dikemukakan oleh para ahli. Namun kemudian, dari berbagai definisi itu didapati berbagai kesamaan, paling tidak kebudayaan memiliki dua dimensi yaitu isi dan wujud. Seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1980) yang mengutip pendapat Claude Kluckhohn, bahwa kebudayaan adalah sebagai seluruh ide, gagasan, dan tindakan manusia dalam angka memenuhi keperluan hidup sehari-hari, yang diperoleh melalui proses belajar mengajar (learned action). Kemudian ditinjau secara umum, budaya terdiri dari dua dimensi, yaitu wujud dan isi. Dalam dimensi wujud, budaya terdiri dari tiga unsur, yaitu: (1) wujud dalam bentuk ide atau gagasan, (2) wujud dalam bentuk aktivitas atau kegiatan, dan (3) wujud dalam bentuk benda-benda atau artifak. Ditinjau dari dimensi isi, atau sering disebut tujuh unsur kebudayaan universal, maka kebudayaan terdiri dari tujuh unsur yaitu: (1) sistem religi, (2) bahasa, (3) teknologi dan peralatan hidup, (4) sistem mata pencaharian, (5) sistem organisasi sosial, (6) pendidikan, dan (7) kesenian. Unsur kebudayaan yang terakhir, yaitu kesenian sering juga disinonimkan dengan istilah seni budaya.
Dalam kajian budaya, sering pula dikenal istilah peradaban (sivilisasi), yaitu unsur-unsur kebudayaan yang maju, halus, dan tinggi (lihat Webster’s 1960 dan L.H. Morgan 1877). Kata ini, biasa merujuk kepada peradaban-peradaban seperti: Sumeria, Assiria, Indus, Babilonia, Inca, Oriental, Oksidental, Harappa, Mahenjo-Daro, dan lain-lain. Istilah peradaban itu sendiri merupakan unsur serapan bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab yaitu dari akar kata adab. Umumnya pengertian budaya menurut para ilmuwan Barat seperti yang dikemukakan dalam antropologi dan sosiologi, adalah bahwa agama atau sistem religi sebagai bagian dari unsur kebudayaan yang sejajar dengan unsur budaya lain. Dalam Islam, agama memiliki dimensi Ilahiyah atau wahyu, dalam dimensi sedemikian rupa tidak termasuk dalam budaya, bahkan budaya wajib berasaskan kepada wahyu. Sebaliknya, kreativitas manusia dalam rangka mengisi budaya dapat dikategorikan sebagai budaya.
Istilah Padanan Budaya dalam Islam
Dalam Islam, jika dibicarakan istilah kebudayaan, biasanya selalu merujuk kepada kandungan makna pada kata-kata atau istilah yang sejenis. Adapun padanan kata budaya itu adalah: millah, ummah, tahaqafah, tamaddun, hadharah, dan adab. Istilah ini dipakai dalam seluruh kurun waktu sepanjang sejarah Islam.
Millah
Terminologi millah, yang bentuk jamaknya milal (), terdapat dalam Al-Qur’an, yang digunakan untuk merujuk keadaan kebudayaan yang berhubungan dengan syariat Nabi Ibrahim Alaihissalam. Millah artinya adalah agama, syariat, hukum, dan cara beribadah. Millah seperti yang disebutkan di dalam Al-Qur’an, maknanya ditujukan umat Islam, atau golongan manusia yang suci, yang berpegang teguh kepada agama Allah, serta mengamalkan sistem syariat, serta meraka yang menjalankan tugas-tugas rohaniah dalam hidup dan peradabannya.
Dalam konteks sejarah, Nabi Ibrahim Alaihissalam adalah peletak dasar agama monoteisme yang hanya menyembah kepada Tuhan yang Ahad. Ia menyatakan dengan tegas bahwa adalah perbuatan salah bila manusia menyembah sesuatu selain Allah, misalnya patung. Maka ia pun dihukum dengan cara dibakar api oleh penguasa negeri saat itu, yaitu Raja Namruz. Namun dengan kuasa Allah akhirnya ia tidak terbakar. Nabi Ibrahim melakukan penyucian akidah umat melalui ajaran-ajaran Allah. Ia termasuk salah seorang Rasul yang Ulul Azmi (lima dari dua puluh lima Rasul yang memiliki “keistimewaan”).
Ummah
Selain itu, ada sebuah istilah lagi yang lazim digunakan dalam Islam, dalam kaitannya dengan kebudayaan, yaitu ummah. Istilah ini mengandung makna sebagai orang-orang muslim dalam bentuk masyarakat kolektif. Istilah ini yang pluralnya adalah umam dipergunakan dalam Al-Qur’an untuk menyebut umat Islam, sebagai umat terbaik, yang artinya:
كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنڪَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ وَلَوۡ ءَامَنَ أَهۡلُ ٱلۡڪِتَـٰبِ لَكَانَ خَيۡرً۬ا لَّهُمۚ مِّنۡهُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَأَڪۡثَرُهُمُ ٱلۡفَـٰسِقُونَ
“Kamu (wahai umat Muhammad) adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi (faedah) umat manusia, (karena) kamu menyuruh berbuat
segala perkara yang baik dan melarang dari segala perkara yang salah (buruk dan keji) serta kamu pula beriman kepada Allah (dengan
sebenar-benar iman) dan kalaulah Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) itu beriman (sebagaimana yang semestinya), tentulah (iman) itu
menjadi baik bagi mereka. (Tetapi) di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka orang-orang yang fasik.” (Q.S. Ali Imran:
110).
Pengertian di dalamnya ialah bahwa umat Islam itu ialah golongan manusia yang suci, mukaddas, bukan sekuler atau profan, tanpa tujuan-tujuan—memiliki sifat-sifat pelaksana ajaran dan syariat Tuhan. Umat umumnya memiliki sifat ma’mum, yaitu terpimpin. Pimpinan disebut imam. Dalam sejarah Islam, pemimpin tertinggi ialah Rasulullah S.A.W. Dalam menjalani kehidupannya, umat itu wajib melaksanakan syariat, yaitu asas agama untuk mengarahkan kehidupan yang ditentukan dalam tanzil, wahyu yang diturunkan, bukan berdasarkan semata-mata kepada pemikiran sendiri. Hidup mereka meniru Rasulullah S.A.W. Umat Islam wajib menjadi contoh kepada segenap umat manusia di dunia. Dengan demikian, umat Islam bererti kumpulan manusia yang mendasarkan hidupnya kepada syariat Ilahi, dengan pimpinan suci, dan membentuk kumpulan manusia yang berkedudukan suci, bukan mengutamakan aspek keduniawian, serta berada dalam dimensi transenden.
Perkataan ummah diambil dari bahasa Arab umm yang artinya ibu. Di dalam Al-Qur’an terdapat 64 kali perkataan ummah, 13 di antaranya menggunakan kata jamak umam. Jika dilihat dari penggunaan kata ummah di dalam Al-Qur’an, maka kata ini memiliki beberapa pengertian. Misalnya dalam Al-Qur’an difirmankan Allah, seperti berikut ini.
كَذَٲلِكَ أَرۡسَلۡنَـٰكَ فِىٓ أُمَّةٍ۬ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهَآ أُمَمٌ۬ لِّتَتۡلُوَاْ عَلَيۡہِمُ ٱلَّذِىٓ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ وَهُمۡ يَكۡفُرُونَ بِٱلرَّحۡمَـٰنِۚ قُلۡ هُوَ رَبِّى لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ عَلَيۡهِ تَوَڪَّلۡتُ وَإِلَيۡهِ مَتَابِ
Artinya: “Demikianlah, Kami utuskan engkau (wahai Muhammad) kepada satu umat yang telah lalu sebelumnya beberapa umat
yang lain, supaya engkau membacakan kepada mereka Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepadamu, sedang mereka kufur kepada
(Allah) Ar-Rahman. Katakanlah: Dialah Tuhanku, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. KepadaNyalah aku berserah
diri dan kepadaNyalah tempat kembaliku (dan kamu semuanya).” (Ar-rad:30)
Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan bahwa ummah memiliki pengertian kepercayaan sebuah kumpulan manusia, seperti yang dibentangkan berikut
بَلۡ قَالُوٓاْ إِنَّا وَجَدۡنَآ ءَابَآءَنَا عَلَىٰٓ أُمَّةٍ۬ وَإِنَّا عَلَىٰٓ ءَاثَـٰرِهِم مُّهۡتَدُونَ
وَكَذَٲلِكَ مَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ فِى قَرۡيَةٍ۬ مِّن نَّذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتۡرَفُوهَآ إِنَّا وَجَدۡنَآ ءَابَآءَنَا عَلَىٰٓ أُمَّةٍ۬ وَإِنَّا عَلَىٰٓ ءَاثَـٰرِهِم مُّقۡتَدُونَ
Artinya: 22. “Tidak ada sebarang bukti bagi mereka bahkan mereka (hanyalah) berkata: Sesungguhnya kami telah mendapati
datuk nenek kami menurut satu jalan agama dan sesungguhnya kami beroleh petunjuk menurut jejak mereka saja.”
23. “Dan demikianlah halnya (orang-orang yang taklid buta); Kami tidak mengutus sebelummu (wahai Muhammad) kepada (pen-
duduk sesebuah negeri, seseorang Rasul pemberi amaran, melainkan orang-orang yang berada dalam kemewahan di negeri itu
berkata: Sesungguhnya kami dapati datuk nenek kami menurut satu jalan agama dan sesungguhnya kami hanya mengikut jejak
mereka saja.” (surah Az-Zukhruf: 22-23)
Perkataan ummah juga diartikan sebagai sebuah masyarakat yang bertanggung jawab terhadap keutuhan kelompoknya, yaitu menjalankan hak dan memperjuangkan keadilan (Quran 7:159). Sebagai contoh Nabi Ibrahim dianggap sebagai seorang umat yang beriman kepada Allah dan menjalankan tanggung jawabnya sebagai rasul kepada kaumnya. Begitu juga dengan kaum Nabi Musa yang mengikuti perintah Allah, melakukan kebaikan dan menjauhi kemungkaran.
Sergeant (dalam Abdullah Al-Ahsan 1992:12) berpendapat bahwa kata ummah telah ada sebelum kelahiran Nabi Muhammad. Namun penjelasan mengenai ummah di dalam Al-Qur’an, adalah membicarakan tentang manusia yang datangnya dari satu komunitas (ummatan wahdatan Q.S. 10:19), yang berasal dari Adam dan Hawa disertai dengan kisah-kisah tentang umat terdahulu yang tidak mempraktikkan bagaimana kondisi ummah yang sebenarnya. Setelah Nabi Muhammad diutus sebagai Nabi akhir zaman, Rasulullah mengenalkan konsep ummah ini berlandaskan ajaran Islam, hingga digunakan terus hingga sekarang.
Dalam ajaran Islam perpaduan ummah tidak bermakna bahwa masyarakat Islam melupakan kaum (etnik, suku, bangsa) mereka. Selain itu, mereka harus menerima kaum dan bangsa lain sebagai saudara mereka. Misalnya Nabi Muhammad tetap mengingat dirinya dari Bani Hasyim dan bersuku Quraisy. Selain itu Nabi Muhammad juga selalu mengingatkan kaumnya yang telah memeluk Islam untuk menghormati dan menyayangi keluarga mereka yang bukan Islam, serta menunjukkan akhlak mulia kepada mereka.
Dalam konteks sejarah Islam, meskipun konsep ummah yang dikenalkan oleh Rasulullah pengertiannya merujuk kepada umat Islam, namun beliau mengijinkan bangsa Yahudi dan lainnya tinggal di Madinah. Mereka dijamin keselamatannya dan diperbolehkan mengamalkan ajaran agamanya selagi mereka tunduk kepada undang-undang Perlembagaan Negara Islam. Kaum Yahudi Medinah ini disebut dengan sebutan terhormat ummah ma’al al-muslimin (umat bersama orang Islam).
Konsep ummah yang ingin dituju oleh Islam adalah sebuah kelompok masyarakat yang beriman kepada Allah, Rasul-rasul dan kitab-Nya bersatu di bawah panji Islam menjadi komunitas terbaik tanpa menonjolkan jenis bangsa, bahasa, ras, warna kulit, dan negeri.
Athtahaqafah
Kata lain yang maknanya merujuk kepada kebudayaan dalam Islam adalah atahaqafah (), yang biasanya digabung dengan al-Islamiyah, artinya adalah keseluruhan cara hidup, berpikir, nilai-nilai, sikap, institusi, serta ertifak yang membantu manusia dalam hidup, yang berkembang dengan berasaskan kepada syariat Islam dan sunnah Nabi Muhammad.
Dalam bahasa Arab, atahaqafah artinya adalah pikiran atau akal seseorang itu menjadi tajam, cerdas, atau mempunyai keahlian yang tinggi dalam bidang-bidang tertentu. Selanjutnya istilah taqafah () berarti membetulkan sesuatu, menjadi lebih baik dari pada keadaan yang dulunya tidak begitu baik, ataupun menjadi berdisiplin. Kata taqafah artinya adalah ketajaman, kecerdasan, kecerdan akal, dan keahlian yang tinggi, yang diperoleh melalui proses pendidikan. Jadi istilah ini, menekankan kepada manusia untuk selalu menggunakan fikirannya, sebelum bertindak dan menghasilkan kebudayaan.
Al-Hadarah
Terminologi al-hadarah digunakan untuk menyebut kehidupan manusia secara kolektif dan peradaban yang tinggi (sivilisasi). Istilah al-hadarah berasal dari kata dasar, hadhara, yahduru, dan hadaratan, yang artinya adalah bermukim dalam kawasan negeri atau tempat yang ramai yang membedakannya dari negeri atau tempat yang sunyi, badiyah. Istilah hadar dan hadarah dalam bahasa Arab klasik bermaksud kawasan yang didiami oleh manusia berupa perkotaan atau kehidupan yang relatif maju. Istilah ini memiliki makna bahwa indikator kebudayaan yang dianggap maju dan tinggi adalah dengan munculnya kota-kota dengan sistem sosial yang kompleks. Namun bagaimanapun pedesaan tetap diperlukan dalam sebuah peradaban, sebagai mitra dari kota-kota. Eksprsi al-hadarah dalam kesenian Islam, diwujudkan dalam genre hadrah. Hadrah ini sejak abad kelima belas menjadi bagian dari kesenian sufi, khususnya tariqat Rifaiyah.
At-tamaddun
Tamaddun () atau bentuk jamaknya tamaddunan () berasal dari bahasa Arab, yang maknanya sering disejajarkan dengan istilah civilization dalam bahasa Inggris. Sivilisasi sendiri awalnya berasal dari bahasa Perancis. Hingga tahun 1732, kata ini merujuk kepada proses hukum. Pada akhir abad ke-18, istilah ini memiliki pengertian yang meluas tidak hanya sebatas sebagai hukum, tetapi juga tahapan paling maju dari sebuah masyarakat. Hawkes (1980:4) mengertikan sivilisasi sebagai kualitas tinggi yang dimiliki masyarakat. Menurut orang Yunani, masyarakat yang tidak memiliki kota adalah masyarakat yang tidak beradab, tidak memiliki sivilisasi. Collingwood mendefinisikan sivilisasi sebagai sebuah proses untuk mencapai suatu tahap kehidupan masyarakat sipil atau menjadi lebih sopan. Hasilnya melahirkan masyarakat perkotaan, masyarakat yang memiliki kehalusan budi. Johnson menyatakan bahwa sivilisasi adalah sebagai suatu keadaan yang bertentangn dengan kehidupan barbar, yang mencapai tahap kesopanan yang tinggi (Collingwood 1947:281).
Childe seorang sejarawan materialisme memberi penekanan kepada pencapaian material sebagai lambang peradaban (sivilisasi) suatu masyarakat. Menurutnya sivilisasi mempunyai maksud yang sama dengan revolusi perkotaan. Ia berpendapat bahwa pengukuran sivilisasi berdasar kepada adanya kota atau sivilisasi urban, berdasarkan kepada kajiannya pada budaya masyarakat Sumeria di Sungai Eufrat dan Tigris tahun 4000 S.M., yang memperlihatkan kota-kota seperti Uruk, Lagash, Eridu, Ur, dan lainnya (Collingwood 1947:5).
Farmer mendefinisikan sivilisasi sebagai unit budaya yang besar dan mengandung norma-norma sosial, tradisi, dan institusi yang dimiliki bersama dan diwarisi dari satu generasi ke generasi berikutnya (Farmer 1977:xxxix). Schwetzer, seorang filosof Jerman yang memenangi hadiah Nobel Perdamaian 1954, mendefinisikan sivilisasi sebagai keseluruhan kemajuan yang dibuat oleh manusia dalam setiap aktivitas dan gagasan, yang membawa kepada penyempurnaan kerohanian individu dan komunitas. Pendapat lain tentang sivilisasi adalah sebagai satu budaya yang telah mencapai tahap kompleksitas yang lazim dicirikan oleh adanya perkotaan yang menyediakan ahli-ahli khusus di bidang ekonomi, sosial, politik, dan agama untuk memenuhi keinginan masyarakat (Jones 1960:10).
Konsep kebudayaan dalam Islam juga melibatkan istilah at-tamaddun, dan kebudayaan Islam disebut at-tamaddun al-Islami. Istilah ini merujuk kepada karangan terkenal Tarikh at-Tamaddun al-Islami yang ditulis oleh Jurzi Zaidan. Istilah ini berasal dari kata dasar maddana, yamduru, dan mudunan, yang artinya adalah datang ke sebuah bandar, dengan harf bi yang bermakna menduduki suatu tempat, maddana pula ertinya membangun bandar-bandar atau kota-kota, atau menjadi kaum atau seseorang yang mempunyai peradaban.
Dari istilah maddana ini muncul istilah lanjutan madinah yang artinya adalah kota dan madani yang berasal dari kata al-madaniyah yang berarti peradaban dan kemakmuran hidup. Istilah ini awalnya dipergunakan oleh Ibnu Khaldun, seorang sosiolog Islam terkenal (Hussein 1997:91). Dalam perkembangan sosial di Asia Tenggara, istilah madani begitu giat dipopulerkan oleh Anwar Ibrahim, mantan wakil Perdana Menteri Malaysia. Pengetian istilah ini merangkum tingkah laku yang beradab seperti orang perkotaan, bersifat halus dalam budi bahasa, serta makmur dalam pencapaian material.
Adab
Di antara istilh-istilah yang berkaitan dengan konsep kebudayaan dalam Islam, yang selalu digunakan oleh para cendekiawan, termasuk di Asia Tenggara, adalah istilah adab () atau kata bentukannya peradaban. Ismail Faruqi menyatakan bahwa adab itu bererti culture atau kebudayaan. Dalam konteks ini kita kaji Hadits Nabi Muhammad SAW yang bermaksud: “Tuhan telah memberikan kepadaku pendidikan adab, addabani, dan Tuhan telah memperbaiki atau menyempurnakan pendidikan adab terhadapku.” Adab yang dimaksud adalah adab dalam pengertian yang paling luas, yang merangkumi kemampuan meletakkan sesuatu itu pada tempat yang sewajarnya, yaitu sifat yang timbul dari kedalaman ilmu dan disiplin seseorang. Sifat ini jika disebarkan ke dalam masyarakat dan kehidupan budaya, maka akan menimbulkan kesan yang alamiah dan menyeluruh di dalam kehidupan kolektif. Kesadaran tentang makna adab yang menyeluruh itu tercermin dalam kitab-kitab Islam, seeprti Adab ad-Dunya wad-Din karya Abul Hasan Al-Mawardi dan analisis tentang kehidupaan yang beradab dalam kitab karangan Imam Al-Ghazali Ihya ‘Ulumuddin.
Dalam bahasa Indonesia pula kata adab atau peradaban sering digunakan dalam berbagai literatur. Istilah peradaban biasanya merujuk kepada pengertian yang sama dengan sivilisasi dari bahasa Inggris. Kata ini memiliki pengertian sebagai unsur budaya yang dianggap mengandung nilai-nilai yang tinggi dan maju. Peradaban biasanya diakaitkan dengan hal-hal yang mencapai tahap kesempurnaan di masa dan ruang tertentu. Meskipun demikian, kalau digunakan istilah ini dengan berdasar kepada penilaian maju, maka itu adalah relatif. Dalam sejarah umat manusia, istilah ini digunakan untuk berbagai peradaban yang maju, seperti Indus, Sumeria, Assiria, Mesir, Inca, Oksidental, Oriental, dan lainnya. Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan tentang berbagai peradaban tersebut namun sebagian besar telah pupus ditelan sang zaman. Hanya sebahagian saja yang hidup, bekembang, dan kontinu hingga hari ini.
Ad-Din
Selain itu, dalam peradaban Islam sering juga digunakan istilah ad-din () yang berarti agama dalam pengertian yang paling luas, dengan sifat-sifat universalnya, baik itu segi akidah maupun amal. Oleh karena itu, istilah ini bersamaan maknanya dengan syariat sebagaimana yang dicatat di dalam kitab Tajul ‘Arus dan kepercayaan tentang mentauhidkan Allah, serta sifat-sifat ketakwaan dan kewarakan orang-orang saleh. Din juga berarti pengertian hukum atau aturan-aturan terentu. Istilah din juga berarti amalan ataupun upacara yang dilakukan, yang diwarisi dari beberapa generasi yang lalu. Dalam pengertian ini maka din sama maknanya dengan tradisi.
Ad-dinul Islam sebagai agama adalah satu-satunya kerangka umum kehidupan yang benar, dan oleh karenanya harus dilaksanakan secara total tanpa ada aspeknya yang tertinggal satu pun. Islam sebagai keimanan, hukum agama (syariat), dan pengembangan pola-pola aspek kehidupan, dalam totalitasnya berfungsi sebagai jalan hidup yang akan membawakan kesejahteraan bagi umat manusia.
Dalam totalitas jalan hidup itu dirumuskan arah, orientasi, wawasan dan lingkup kehidupan perorangan dan bermasyarakat manusia, dengan pola hubungan antara kaum muslimin dan yang bukan muslimin diatur di dalamnya. Dalam totalitas seperti itu tidak ada pembedaan antara aspek duniawi dan ukhrawi, karena semuanya saling menunjang. Dalam keadaan demikian tiada lagi hal yang tidak berwawasan keagamaan.
Bagi beberapa penulis, istilah agama Islam sebenarnya lebih tepat menggunakan Ad-dinul Islam, karena pengertiannya langsung merujuk kepada Islam sebagai satu-satunya agama yang disempurnakan Tuhan--dengan berbagai karakteritik khusus yang paling tepat dianut manusia zaman Rasulullah hingga kini. Ia diturunkan oleh Sang Khalik untuk makhluknya dengan ketepatan yang pasti.
Beberapa Penafsiran tentang Budaya
Dalam sejarah Islam terdapat berbagai konsep tentang budaya. Segolongan pemikir ada yang menyatakan bahwa Islam adalah wahyu Allah dan termasuk ke dalam agama samawi. Dengan demikian, Islam bukanlah kebudayaan, tetapi seperti yang dikemukakan Natsir (1954) Islam merupakan sumber kekuatan yang mendorong terbitnya suatu kebudayaan. Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah dari langit, melalui malaikat Jibril, dengan cara mewahyukannya kepada Nabi Muhammad. Islam bukanlah hasil atau bagian dari kebudayaan. Sebaliknya kebudayaan bukan bagian dari agama samawi. Kebudayaan hasil ciptaan manusia. Keduanya berdiri sendiri, namun dapat berhubungan dan membentuk kebudayaan terentu (lihat Anshari 1980 dan Ismail 1982).
Kelompok pemikir lain menyatakan bahwa Ad-dinul Islam, tidak haya terdiri dari “agama” atau “religi” saja, yaitu kumpuan doktrinal yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Islam terdiri dari agama dan kebudayaan sekali gus, yatiu Ad-din yang berasaskan Al-Qur’an dan Sunnah (Hadits), disempurnakan dengan ijtihad (penafsiran keagamaan). Namun Islam sebagai agama adalah agama wahyu dan agama samawi. Bahwa ruang lingkup ajaran Islam mencakup segi agama dan kebudayaan sekali gus. Islam selain mengatur segi-segi ritual keagamaan juga mengandung ajaran-ajaran yang dapat dijadikan asas kebudayaan (Gazalba 1965:21-30).
Mohammad Natsir dalam tulisan-tulisannya pada akhir tahun 1930-an telah menjelaskan bahwa berbagai asas kebudayaan Islam yang pada intinya merupakan ajaran yang mengandung roh intiqat atau ”kekuatan menyiasat” dan menyelidiki kebenaran yang ditanamkan oleh Islam kepada para pemeluknya. Hasil berpikir umat Islam ini dalam sejarah telah memperlihatkan ke muka bumi, bagaimana umat Islam telah mempunyai persediaan untuk menerima multibudaya dari bangsa-bangsa terdahulu: Yunani, Romawi, Persia, India, dan lainnya. Bagi Natsir agama datang, membangunkan, membangkitkan, serta menggemarkan akal berpikir, agar manusia memakainya dengan sebaik-baiknya sebagai suatu nikmat Ilahi nan maha indah. Namun ia juga mengingatkan fungsi agama dalam mengendalikan atau membatasi akal. Agama datang mengalirkan akal mengikuti aliran yang benar, jangan melantur ke arah mana pun. Islam datang bukan melepaskan akal seperti melepaskan kuda di tengah lapangan pacuan. Agama mengatur mana yang dilarang dan mana yang disuruh.
Dengan demikian para pemikir gerakan Islam pada dasarnya sepakat untuk membedakan “agama” sebagai wahyu Allah dan “kebudayaan” sebagai hasil karya manusia. Secara kontekstual keduanya memiliki hubungan, bukan saling berdiri sendiri. Oleh karena itu, kebudayaan manusia wajib berasas dan dibentuk oleh ajaran agama (Ad-din). Bukan kebalikannya. Agama mengarahkan arah yang tepat dalam berkebudayaan atau berperadaban. Manusia adalah makhluk yang memiliki berbagai kelemahan, untuk itu perlu dibimbing oleh agama. Namun di sisi lain, manusia adalah khalifah (pemimpin) di muka bumi ini, dengan berbagai kelebihan-kelebihannya. Terutama kalau dibandingkan dengan hewan maka kebudayaan manusia terus berkembang dalam ruang dan waktu yang ditempuhnya, sepanjang zaman.
Dalam pandangan Islam, aqidah, syariah, dan akhlak jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh akan berpengaruh kepada pembentukan dan pengembangan unsur-unsur kebudayaan seperti politik, ekonomi, sosial, teknologi, pendidikan, dan lain-lainnya. Yang ditekankan adalah pelaksanaan ajaran Islam. Pengaruhnya akan timbul dalam perilaku. Namun, dalam merumuskan konsep-konsep, dicari dahulu ajaran-ajaran yang relevan dan mengatur bidang-bidang kebudayaan itu. Yang tidak secara eksplisit diatur, akan dipikirkan secara sendiri, melalui ijtihad, penggunaan akal pikiran dan ilmu pengetahuan. Demikian sekilas konsep Islam mengenai kebudayaan, selanjutnya bagaimana tataran idea itu diaktualisasikan dalam sejarah, kita kaji perkembangannya.
Perkembangan Kebudayaan Islam
Kebudayaan Islam merupakan salah satu peradaban besar dalam sejarah peradaban manusia. Berbanding dengan beberapa peradaban besar lainnya yang telah hilang seperti Indus, Huang Ho, Mesir, Yunani, Romawi, Inca, dan lainnya, maka peradaban Islam masih terus berkembang, dari abad ke-6 sampai kini. Eksistensi peradaban Islam yang kontinu ini bukan saja memaparkan kegemilangannya namun juga memperlihatkan bahwa peradaban Islam mampu mengikuti perkembangan sang waktu. Peradaban Islam yang awalnya berasal dari Semenanjung Arab, kini tersebar ke seluruh dunia dengan berbagai proses adaptasinya yang menarik.
Kebudayaan Islam adalah kebudayaan yang melintasi wilayah etnik dan bangsa. Ia adalah milik seluruh umat Islam di dunia. Kebudayaan Islam meletakkan agama Islam sebagai dasar terpenting dalam perkembangannya. Berawal dari Mekah dan Medinah, berkembang ke seluruh Jazirah Arab dan keluar dari Tanah Arab ke seluruh penjuru dunia. Perkembangannya sangat pesat, hingga akhirnya Islam mampu muncul sebagai kuasa penting di beberapa kawasan seperti: Asia Tengah, Benua Kecil India, China, Afrika, Asia Tenggara, dan sebagian Eropah. Nabi Muhammad sejak awal telah membentuk generasi pertama Islam yang dijuluki sebagai al-jilu al-Rabbaniyu al-muntazim atau mereka yang menghayati dan mengamalkan setiap arahan Allah. Keadaan ini kemudian diteruskan di masa Khulafaur Rasyidin. Dalam periode ini, Islam berkembang pesat meliputi seluruh jazirah Arab, begitu juga wilayah kekuasaan Romawi dan Persia lambat-laun menjadi kawasan Islam.
Seiring dengan perkembangan wilayah, maka pembentukan peradaban juga tak dilupakan. Untuk ini didirikan berbagai perkotaan sebagai pusat peradaban Islam, seperti Damaskus (Damsyik) di Syria, Basrah, Kufah, Fustat di Mesir, Jerussalem di Palestina, dan lainnya. Dalam memandang perkembangan perkotaaan Islam ini, Lapidus (dalam Beg 1983:27) menjelaskan: “Muslim cities, then, were the products of Islamic civilization... Political institutions, religious values and forms of social organisation were the creations of city peoples.”
Setelah era Khulafaur Rasyidin, perkembangan kebudayaan Islam digerakkan dan dimotivasi oleh beberapa kerajaan Islam. Kerajaan Bani Umayyah dan Abbasiah muncul sebagai kekuasaan penting dalam mengembangkan syiar Islam. Oleh beberapa pakar politik, saat pemerintahan dinasti ini, aspek keduniawian lebih menonjol muncyl, dibanding era Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan Bani Umayyah Islam mencapai kawasan Asia, Afrika, dan Eropah.
Pada abad ke-8, beberapa kawasan Asia Tengah telah berada di dalam kekuasan Islam. Kemudian dilanjutkan dengan penyebaran Islam ke Bukhara, Samarkand, Khawarizmi, Farghnah, dan lainnya. Panglima Qutaibah bin Muslim telah berhasil menaklukkan Sinkiang dan Kansu. Tahun 713 seorang utusan muslim diterima oleh Maharaja Hsuan Tsung. Peristiwa ini adalah babak awal dalam perkembangan Islam di China (Yahaya dan Halimi 1993). Di Afrika Islam masuk dibawa oleh Hassan bin Nukman al-Ghassoni, yang kemudian diangkat sebagai gubernur pertama Afrika Utara dan Maghribi kemudian diagntikan oleh Musa bin Nusair (Amir Qairawan) (Abdullah 1999).
Spanyol adalah gerbang utama masuknya Islam ke Eropah (Barat). Masuknya Islam di kawasan ini adalah melalui penaklukan yang dipimpin Musa bin Nusair dan Tariq bin Ziad. Mereka menguasai beberapa kota penting seperti Carmona, Sevilla, Toledo, Granada, dan lainnya. Kekuasaan Islam bertapak di kawasan ini dari tahun 711 sampai 1492.
Di Timur Tengah (Asia Barat), selain Arab terdapat suku lain seperti Persia, Turki, dan Kurdi. Mereka ini setelah masuk Islam mendirikan beberapa kerajaan seperti Tahiriyah di Khurasan, Saffariyah di Fars, Samaniyah di Trensonksania, Sajidiyah di Azerbaijan, Ziyariyah di Jurjun, dan Buwaih di Irak. Begitu juga muncul kerajaan Islam antara abad ke-9 sampai 12 di Turki, Mesir, Turkestan, Asia kecil, dan lainnnya. Di India muncul kerajaan Islam Ghori, Kilji, Tughluq, Lodi, dan Mughal (An-Nadwi 1992:33-56). Di Asia Tenggara muncul kerajaan Perlak, Samudera Pasai, Melaka, Kutai, Demak, Mataram, Ternate, Tidore, dan lain-lainnya. Pada masa sekarang ini Islam telah menyebar ke seluruh dunia dengan densitas serta pemahaman yang berbeda-beda, namun satu dalam ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam yang senasib dan sepenanggungan).
Ciri-ciri Kebudayaan Islam
Adapun ciri-ciri kebudayaan Islam adalah berdasarkan kepada ajaran-ajaran agama Islam dengan dua sumbernya yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Dengan demikian segala kegiatan atau hasil budaya wajib merujuk kepada ajaran agama. Ciri lain kebudayaan Islam adalah menyeimbangkan antara keperluan dunia (materi) dan akhirat (ukhrawi).
Menurut para pakar kebudayaan, ciri-ciri sebuah kebudayaan (peradaban) adalah: penyebaan teknik pertanian, pengairan yang sistematik, peternakan, pengkhususan kerja, urbanisasi, terbentuknya negara, munculnya kelas sosial, tulisan, perdagangan, dan revolusi penciptaan (Yahaya 1998). Ciri-ciri ini juga menjadi bagian kebudayaan Islam.
Selain itu, ciri lain kebudayaan Islam adalah meletakkan tiga hal sebagai dasar, yaitu: akidah, akhlak, dan ilmu. Akidah sebagai kepercayaan sepenuhnya kepada Keesaan Allah. Ciri ini sangat penting dalam kebudayaan Islam karena ia melahirkan masyarakat yang tidak hanya menekankan kepada aspek kebendaan saja, tetapi juga menekankan aspek rohani, menyeimbangkan kepentingan kedua-duanya. Akidah yang sama ini menjadi dasar dalam hubungan antara semua muslim dunia, sebagai satu saudara. Akhlak dan ilmu menjadi penting juga dalam kebudayaan Islam. Kedua aspek itu membentuk pemikiran yang paling penting dalam kebudayaan Islam sejak zaman Nabi Muhammad hingga kini. Bahkan masalah akhlak diberikan penekanan yang intensif di dalam Al-Qur’an.
Ciri-ciri lain kebudayaan Islam ialah sifatnya yang universal, terbuka, mampu melewati semua zaman, toleransi, serta integrasi dalam berbagai perbedaan yang alamiah. Islam menyumbangkan dasar bagi bersatunya berbagai perbedaan bangsa, bahasa dan ras. Telah dibuktikan sejarah bahwa kebudayaan Islam telah melintasi ruang dan waktu sepanjang zaman serta memberikan sumbangan bagi peradaban dunia. Pandangan Islam terhadap manusia dan kebudayaannya adalah seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an berikut ini.
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَـٰكُم مِّن ذَكَرٍ۬ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَـٰكُمۡ شُعُوبً۬ا وَقَبَآٮِٕلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَڪۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَٮٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ۬
Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan Kami menjadikan kamu
bangsa dan puak supaya kamu berkenal-kenalan, sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang yang
bertakwa di antara kamu.” (Quran, surah Al-Hujurat:13).
Konsep kebudayaan dalam Islam adalah bahwa kebudayaan wajib berdasar kepada ajaran-ajaran agama Islam. Agama Islam adalah agama wahyu yang diturunkan Allah kepada umat manusia melalui perantaraan malaikat Jibril dan tugas kerasulan yang diemban Nabi Muhammad. Islam sebagai wahyu adalah bukan bagian dari kebudayaan tetapi sebagai pendorong terbitnya kebudayaan yang diridhai Allah. Kebudayaan sebagai hasil umat manusia, dalam rangka pemenuhan keperluan hidupnya, wajib berdasar kepada ajaran-ajaran Islam.
Dalam persepsi ajaran-ajaran Islam terdapat berbagai terminologi yang berkaitan erat dengan istilah kebudayaan yaitu: millah, ummah, hadarah, at-tahaqofah, tamaddun, adab dan lainnya—yang intinya adalah merujuk kepada kebudayaan masyarakat yang islami. Kebudayaan dalam Islam adalah menyeimbangkan antara aspek materi dan rohani serta tujuan hidup adalah dunia ini sendiri dan akhirat kelak. Demikian kira-kira uraian mengenai konsep kebudayaan dalam perspektif Islam.
Konsep Seni dalam Islam
Islam adalah agama tauhid yang dalam ajaran-ajarannya menekankan kepada keesaan Allah S.W.T. Dengan demikian segala konsep maupun kegiatan apapun yang dilakukan umat Islam selalu dikaitkan dengan Allah Yang Maha Esa, termasuk dalam kesenian. Seni (al-fann) dalam Islam, menurut Syed Qutb adalah pertemuan antara keindahan dan kebenaran. Keindahan adalah hakikat alam semesta dan kebenaran adalah puncak dari keindahan.
Seorang penulis seni dalam peradaban Islam yang ternama, Sayyid Hossein Nasr (dalam kitabnya yang bertajuk Spritualitas dan seni Islam terjemahan Sutejo) berpandangan bahwa tujuan akhir dari seni Islam, adalah untuk mengingat Allah. Kemudian Nasr menyatakan bahwa seni tidak akan berfungsi spiritual jika ia tidak dihubungkan dengan bentuk dan kandungan wahyu Islam. Nasr menghuraikan bahwa Islam dibentuk oleh beberapa bangunan syariah, tarikat, dan hakikat. Ia mengemukakan bahwa syariat Islam memberikan kontribusi peranan penting dalam memberi dasar dan persekitaran kepada seni Islam—dan juga menyediakan batasan-batasan tertentu atau garis untuk seni Islam itu. Nasr memeberikan arahan polarisasi bahwa sumber spiritual Islam tentu saja berasakan Al-Qur’an dan Hadits. Tanpa dua mata air yang bersumber dari Al-Qur’an dan barakah Nabi, tidak akan ada seni Islam. Suatu karya seni dapat dikategorikan sebagai seni Islam bukan saja hanya karena diciptakan oleh seorang muslim, tetapi juga karena dilandasi oleh wahyu dari Allah.
Nasr lebih jauh menyatakan bahwa spiritualitas Islam itu tentu saja akan lahir dari jiwa seniman yang Islam dan suci. Dalam konteks ini ia memberikan terminologi homo Islamicus, yang artinya adalah manusia mempunyai dua peranan, yaitu sebagai abdullah hamba Allah dan khalifatullah yaitu wakil atau khalifah Allah di muka bumi. Spritualitas dalam seni Islam menurut Nasr hanya akan lahir dari seniman yang taat jiwanya kepada Allah. Inilah yang menganehkan kita, sebahagian pendokong pluralisme di negara-negara Islam dengan begitu ghairah mengangkat Hossein Nasr sebagai antara pendukung falsafah perennial tetapi ternyata keikhlasan golongan ini berhak diragukan. Alasannya mereka mau saja menerima (atau sebetulnya mendakwa) falsafah perennial Hossein Nasr selaras dengan “agama baru” mereka yaitu pluralisme.[1]
Kesenian di dalam kehidupan boleh saja disuntikkan dengan spiritual Islam. Hossein Nasr merujuk kepada seni pertunjukan hari ini yang melibatkan teater, tari, dan musik, yang berasal dari mitos, korban untuk dewa-dewa, ketegangan langit dan bumi sebagai daya tarik ketika ia mula-mula berkembang di wilayah Yunani kuno, India, dan Eropa. Seni pentas ini telah diberi perspektif Islami dan menjadi aspek spiritual Islam seperti yang ditunjukkan dalam ta'ziyah seni teaterikal masyarakat Syiah yang berkembang ketika masa Dinasti Safawi dan Qajar di Iran dan India. Malah ketika dunia sunni mengucilkan seni, aliran Syiah dalam Islam memberi nafas yang segar kepada seni pentas. Seni seperti ini menurut Nasr meskipun tidak tercipta di pusat Islam dan bukan seni suci, dapat dilihat sebagai seni religus karena hubungan antara spiritual Islam sehingga seni Islam itu tidak harus dilihat secara terbatas semata-mata.
Dari situ Nasr menyimpulkan bahwa seni Islam bersifat tenang, mudah difahami, terstruktur, dan berkarekter spiritual tinggi. Nasr juga mengkritik segelintir seniman dan sejarawan Islam yang terikut-ikut dengan sarjana Barat yang mengabaikan makna spiritual seni Islam. Beliau menegaskan di bahagian akhir tulisannya bahwa seni Islam itu selain untuk merenungkan kembali hakikat tertinggi yang menuntun menuju Hakikat Terkhir, juga secara jelas berperan penting sebagai penopang dan pembantu ajaran Al-Qur’an, dengan bertindak sebagai pendukung untuk mencapai tujuan Islam.
Bagi orang-orang Islam, segala ciptaan seni wajib dihubungkaitkan dengan kebesaran Allah S.W.T., karena manusia tidak dapat menciptakan sesuatu tanpa pertolongan-Nya. Segala perbuatan manusia itu pun adalah anugerah Allah. Manusia hanya sekedar mengubah dan mengolah hasil ciptaan Allah. Dengan demikian seni dalam Islam mempunyai kedudukan hukum (syar’i) tertentu yang diatur oleh ajaran-ajaran Islam. Kesenian dalam Islam berkembang seiring dengan perkembangan umat. Perkembangan kesenian ini dilandasi oleh hukum tertentu, sesuai dengan fungsinya. Menurut Ibrahim Ismail (1992) kesenian Islam mempunyai ciri-ciri khas yang membedakannya dengan kesenian agama lain. Kesenian Islam diciptakan sesuai dengan firman Allah di dalam Al-Qur’an: “Aku menciptakan mereka supaya mereka tunduk kepada-Ku.”
Hukum Seni dalam Islam
Untuk menganalisis hukum seni dalam Islam, tentu harus merujuk kepada sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadits (Sunnah).[2] Selain itu juga digunakan pandangan-pandangan berbagai sekte Islam, khususnya dalam konteks tulisan ini, yang terintegrasi ke dalam masyarakat Islam ahlussunah wal jama’ah, yaitu: Syafi’i, Hambali, Maliki, dan Hanafi.[3]
Islam adalah agama samawi (langit) yang diturunkan oleh Allah melalui Nabi Muhammad. Wahyu Allah itu kemudian dimushafkan dalam Kitab Suci Al-Qur’an. Sumber ajaran Islam lainnya di samping Al-Qur’an adalah Hadits, berupa sunnah dalam bentuk perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia, baik di dunia ataupun di akhirat. Ajaran Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, seperti akidah, teologi, ibadah, hukum (syara’), tasawuf (mistisisme), filsafat, politik, pembaruan, dan kesenian.
Allah mencipta manusia untuk mengabdikan dan beribadah kepada-Nya. Jadi, setiap apa yang dilakukan manusia perlu menjuruskan kepada hakikat penciptaan. Islam memberikan kebebasan sesuai dengan hukum alam atau sunatullah, asalkan tidak lari dari landasan asal konsep takwa.
Sayyid Qutb, menguraikan seni Islam semestinya dilahirkan oleh seniman muslim yaitu seorang yang melibatkan secara serius dalam kesenian Islam agar dapat menimbulkan kesadaran kepada individu dan masyarakat terhadap alam kehidupan dan realiti peristiwa alam. Dalam konteks lebih luas, dapat mengungkapkan peristiwa itu dengan keupayaan penyataan bahasa yang indah dan dalam waktu yang sama ia hidup dalam tasawwur Islam. Sarjana Islam meringkaskan tujuan kesenian Islam kepada lima yaitu: (1) membantu manusia mengenal jati diri, bukan memancar keluar diri; (2) menjadi hamba Allah dan khalifah makhluk; (3) menyadari kemuliaan dan ketinggian azali manusia; (4) mengelakkan dari konsep idola makhluk, dan (5) selaras secara vertikal kesenian lahir, batin serta rohani.
Secara khususnya ia memperlihatkan kepentingan seni Islam dalam proses memenuhi keperluan hidup manusia yang menghubungkan manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Ia dalam satu hubungan secara sebahagian atau menyeluruh yang tidak mengetepikan hubungan manusia sebagai hamba kepada-Nya.
Timbulnya seni adalah sebahagian dari fitrah manusia yang suka melihat dan mendengar perkara indah. Ketelitian dan ketekunan terhadap sesuatu kerja seni memberikan satu kepuasan dan merangsang pemikiran untuk mengakui nikmat dikurniakan Allah. Selagi hasil seni itu tidak memperlihatkan sesuatu bertentangan dengan roh Islam, maka ia menjadi sebahagian dari seni Islam. Sebaliknya, hasil seni yang melambangkan keangkuhan dan memutuskan hubungan dengan Allah dan manusia yang lain, dilarang sama sekali diamalkan.
Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulum al-Din, membincangkan secara terperinci mengenai hukum bermain musik dan nyanyian.Di antara perkara yang dinukilkannya dalam membuat uraian itu: jiwa yang sehat ialah jiwa yang segar apabila mendengar suara petikan biola, segar apabila melihat bunga mekar sekitar taman. Sebaliknya jiwa yang rusak, ialah yang gagal menikmati suara petikan biola, jiwa yang tidak terhibur sekali pun dikelilingi taman yang penuh bunga-bungaan. Ketenangan dan kepekaan jiwa amat penting bagi memahami perkara dalam urusan agama dan kehidupan. Sebab itu dipentingkan jiwa yang hidup dan dapat menerima hakikat dalam keadaan terbuka dan bukannya jumud. Jiwa yang jumud dan tertutup sebenarnya jiwa yang mati. Yakinlah semua ciptaan Allah memperlihatkan unsur seni yang cantik, menarik dan tidak ada yang cacatnya. Allah maukan manusia memerhatikan, menghargai, dan memanfaatkan setiap ciptaan-Nya.
Yusuf Al-Qardawi, menggariskan panduan yang mengharuskan permainan musik dan nyanyian. Pertama Lirik lagu dan pertunjukannya tidak bertentangan akidah Islam dan hukum syarak. Lirik lagu yang mempertikaikan akidah Islam dan kebesaran Allah, tidak harus didengar. Kedua persembahan hendaklah dalam bentuk sopan. Ia tidak melibatkan pergerakan yang membangkitkan nafsu dan melalaikan. Ketiga tidak melibatkan pergaulan bebas lelaki dan perempuan, tidak diadakan di tempat yang boleh mendatangkan fitnah, tidak diadakan di tempat yang gelap atau separuh gelap yang boleh memberi ruang kepada setan mempengaruhi perkara tidak baik. Keempat Tidak dilakukan secara keterlaluan sehingga mendatangkan pelbagai perkara buruk. Yang lebih penting tidak melalaikan manusia dari melakukan perintah Allah.
Menurut Imam Al-Ghazali, mendengar musik itu ada lima hukumnya: harus, sunat, wajib, makruh, dan haram. Untuk musik Islam, Al-Ghazali mengkategorisasikannya ke dalam tujuh fungsi: (1) lagu yang membangkitan kerinduan untuk menziarahi tempat-tempat suci seperti Mekkah dan Medinah; (2) lagu yang mengobarkan semangat untuk berjuang mempertahankan akidah dan negara; (3) lagu yang isinya bertema pertarungan dan sikap jantan yang pantang menyerah di saat-saat genting; (4) mengenang peristiwa masa lalu, sehingga mengingatkan diri tentang hakekat hidup; (5) lagu yang menyifatkan keadaan ketika sukacita untuk menghargai suasana tersebut dan menikmati kenangannya selama mungkin; (6) lagu ghazal yang sopan, yaitu yang berisikan tema tentang kisah cinta dan membayangkan harapan untuk bertemu dan pertautan yang lebih erat di masa yang akan datang; dan (7) lagu yang berisikan tema tentang keagungan dan sifat-sifat Allah S.W.T., memuji serta mentahmidkan kebesaran-Nya (1413 H:24-284).[4]
Pada dasarnya Islam telah mengarahkan umatnya untuk melakukan musik mana yang boleh dan mana yang haram. Bagaimana konsep tersebut diwujudkan masyarakat Islam? Mari dilihat terapannya pada masyarakat Melayu yang berada di kawasan Sumatera Utara.
Hukum Lagu dan Tari dalam Islam
Untuk membahas masalah lagu dan tari dalam Islam, tentu saja mesti merujuk kepada sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Selain itu dipergunakan pula pandangan-pandangan pelbagai sekte Islam, khasnya yang terintegrasi di dalam masyrakat Islam ahlussunah waljamaah, yaitu: Syafi’i, Hanbali, Maliki dan Hanafi. Masyarakat Melayu Islam di Sumatera Utara sendiri pada masa sekarang amnya menggunakan mazhab Syafi’i, sebuah mzhab dalam agama Islam yang umum dianut masyarakat di Asia Tenggara.
Adapun kajian ini dilakukan karena seni perunjukan Melayu di Sumatera Utara sangat kuat mengekspresikan kesenian Islam, yang berasas kepada nilai-nilai keuniversalan Islam. Di sisi lain, Islam tetap menghargi variasi-variasi kebudayaan sesuai degan situasi, kondisi, dan tempat di mana kesenian itu hidup. Selain itu, dalam tahap ide, kegiatan mahupun budaya materialnya, para pendukug seni persembahan wajib berpedoman kepada-konsep Islam.
Islam adalah agama samawi (langit) yang diturunan oleh Allah S.W.T. melalui rasulullah Muhamad S.A.W. Wahyu Allah ini kemudiannya dimushafkan (dibukukan) dalam Kitab Suci Al-Qur’an di masa Khalifah Umar. Sumber ajaran Islam lainnya, di samping Al-Qur’an adalah Hadits, berupa sunah dalam bentuk perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia baik di dunia maupun akhirat. Ajaran Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia seperti akidah, teologi, ibadah, hukum (syara’), tasawuf (sufisme), filsafat, politik (siyasah), tajdid, kesenian dan lainnya.
Islam adaah agama tauhid yang dalam ajaran-ajarannya menekankan kepad keesaan Allah. Dengan demikian segala konsepsi dan kegiatan apapun yang dilakukan umat Islam selalu dikaitkan dengan Allah S.W.T., termasuk kesenian. Seni (al-Fann) dalam Islam mengikut Syed Qutb adalah penyempurnaan pertemuan antara keindahan dan kebenaran. Keindahan adalah hakikat alam semesta dan kebenaran adalah puncak dari keindahan.
Bagi umat Islam, segala ciptaan seni harus dihubungkan dengan kekayaan dan kebesaran Allah, karena manusia tidak boleh menciptakan sesuatu anpa pertolongan Allah. Segala perbuatan manusia itu adalah anugerah dari Allah SWT. Manusia hanya sekedar mengubah dan mengolah hasil ciptaan Allah. Dengan demikian seni (lagu dan tari) dalam Islam mempunyai kedudukan hukum tertentu, yang diatur oleh ajaran-ajaran agama Islam sama ada yang terdapat di dalam Al-Qur’an, Hadits, maupun pendapat-pendapat para ulama dari berbagai mazhab dalam Islam.
Kesenian dalam Islam berkebang seiring dengan perkembangan umat. Perkembangn kesenian ini dilanasi dengan hukum tertentu, selaras dengan fungsinya. Menurut Ibrahim Ismail kesenian Islam memiliki ciri-ciri khas yang membedakannya dengan kesenian lain. Kesenian Islam diciptakn sebagai bahagian dari ibadah untuk mematuhi perintah Allah, selaras dengan perintah-Nya di dalam Al-Qur’an: “Aku menciptakan mereka untuk tunduk kepada-Ku.”
Sebahagian orang muslim mengatakan bahwa Islam tidak bertentangan, apalagi melarang seni. Namun sebahagian yang lain mengharamkannya. Pendapat yang mendukung seni ini adalah berdasar kepada dalil aqliyah (berpikir logis) bahwa Al-Qur’an sendiri mengandung nilai-nilai keindahan dan kesejarahan yang sangat tinggi. Hingga kini tilawah (teknik membaca Al-Qur’an) dan khat (kaligrafi) tersebar luas di dunia. Dalam memposisikan seni, mereka juga berdasar kepada dalil naqliyah (berdasar kepada wahyu Allah), baik Al-Qur’an maupun Hadits. Di antaranya adalah Hadits yang mengatakan: “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan.”
Kedudukan Lagu (Musik ) dalam Islam
Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang secara implisit berkaitan dengan seni musik. Dibandingkan dengan Hadits, maka relatif sedikit Al-Qur’an yang menjelaskan kedudukan seni musik dalam Islam. Ayat-ayat Al-Qur’an itu di antaranya adalah seperti yang diturunkan berikut in, “Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.”
Ayat di atas sangat berhubungan dengan seni bacaan Al-Qur’an. Sehubungan dengan itu perlu pula dikutip Hadits yang berbunyi: “Hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu...”
Ayat Quran dan dau Hadits di atas, sama-sama membicaraan tentang seni baca Al-Qur’an yang mengisyaratkan kepada umat Islam supaya membaca Al-Qur’an dengan sebaik-baiknya, dengan suara yang bagus, dan mengikut tajwd yang benar. Apabila ada yang merusakkan, menambah, atau mengurangi huruf-huruf Al-Qur’an maka itu dianggap suatu bid’ah. Permasalahan ini jug dapat dilihat pada firman Allah yang berbunyi sebagai berikut, Artinya: “Sebahagian manusia membeli lahualhadits (perkataan yang tidak berguna) untuk menyesakan orang lain dari jalan Allah S.W.T. tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah S.W.T. itu olok-oloan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.”
Istilah lahualhadits (perkataan yang tidak berguna) pada ayat di atas menurut para ahli tafsir adalah apa saja kata-kata (suara) atau nyanyian (lagu-lagu) yang dapat melalaikan seseorang kepada jalan Allah S.W.T. Karena pada asasnya nyanyian itu adalah perkataan, oleh karena itu akan lebih baik apabila disusun dengan kata-kata yang baik, dan ia akan jelek apabila dirangkai dengan kata-kata yang jelek. Kalimat tersebut berkaitann erat dengan sikap dan perbuatan orang-orang kafir yang cenderung menjadikan ayat-ayat Allah S.W.T. sebagai senda gurau, dengan tujuan untuk menghiakan, merendahkan, dan berusaha menyesatkan orang-orang dari jalan Allah.
Selanjutnya ada nash-nash yang menunjukkan atas diperbolehkannya mendengar suara yang bagus sebagai anugerah Allah kepada hambaNya, sebagai berikut, “Dan Allah S.W.T. menambah aada makhlukNya apa yang Dia Kehendaki.” “Dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya sejelek-jelek suara adalah suara keledai.”
Berdasarkan pengertian yang dipahami dari kedua ayat di atas, bahwa Allah memberikan anugerah suara yang bagus kepada hambaNya, tentu saja apabila suara tersebut dipergunakan kepada jalan yang dikehendaki Allah. Dengan demikian diisyaratkan juga bahwa baik dalam bernyanyi maupun berbicara semestinya dengan suara yang lunak dan lembut, janganah memekik-mekik atau meringis seperti suara keledai, karena Al-Qur’an menganggap bahwa suara keledai adalah sebagai suara yang paling buruk.
Seterusnya terdapat sebuah firman Allah yang mengisyaratkan bahwa haramnya bermain musik atau bernyanyi apabila dilakukan di luar batas kewajaran, seperti ayat berikut ini, “Dan desak serta bujuklah (wahai iblis) siapa yang engkau dapat membujuknya dengan shautika (suaramu).”
Perkataan shautika (suara engkau) yang ditujuka kepada iblis, mengikut tafsiran mujahid adalah nyanyian atau hiburan yang digunakan oleh iblis dalam menggoda dan membujuk manusia untuk melakukan perbuatan maksiat. Berbeda dengan tafsiran mujahid tersebut, Al-Baghdadi mengkaitkan perkataan shautika dengan berbagai jenis hiburan yang kadarnya melampaui batas-batas yang dibenarkan oleh syara’, seperti main musik dan beryanyi pada wktu shalat Jumat, atau pada peristiwa-perisiwa yang disenangi setan seperti pada pesta yang bercampur antara kaum laki-laki dan perempuan, disertai dengan judi dan minum-minuman keras.
Pada dasarnya Allah S.W.T. mencintai keindahan, sebab Al-Jamil (Yang Indah) itu sendiri adalah salah satu asma sekaligus sifat Allah. Sehubungan dengan ayat-ayat di atas, sesungguhnya Al-Qur’an tidak melarang musik, sejauh musik tersebut tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya. Bahkan Allah S.W.T. menyerukan untuk membaca Al-Qur’an dengan suara yang merdu. Allah melalui Al-Qur’an melarang umat-Nya untuk berman musik apabila melampaui batas-batas yang telah ditentukan.
Kedudukan Lagu dan Tari dalam Hadits
Dalam konteks sejarah Islam, dapat diketahui bahwa Nabi Muhammad S.A.W. (51-632 M) sangat seang dengan musik (al-musiqi) dan sekali gus menentang musik tertentu. Artinya demi kepentingan agama Islam, baginda membeda-bedakan musik yang bertentangan dan musik yang selaras dengan ajaran agama Islam. Oleh karena itu, sangat banyak nash-nash di dalam buku-buku hadits yang berkaitan dengan seni (lagu dan tari). Di antara nash-nash tersebut ada yang menghalalkan seorang menyanyi dan memainkan alat musik, namun kegiatan itu hanya boleh dilakukan utuk difungsikan pada pesta-pesta pernikahan, khitanan, menyambut tetamu yang baru datang, memuji-muji orang yang meninggal dunia secara syahid dalam peperangan, atau menyambut datangnya hari raya dan sejenisnya.
Ada beberapa nash yang menuliskan bahwa Rasulullah S.A.W. tidak menentang syair, karena syair itu sering dinyanyikan di hadapan baginda, sebagaimana Aisya r.a. berkata: “Para sahabat Rasululah S.A.W. saling menyanyikan syair di sisi beliau dan beliau tersenyum. Kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya di dalam syair itu ada hikmah.”
Selanjunya, terdapat pula Hadist yang diriwaytan oleh Imam Bukhari, dari Muslim, dari Aisyah r.a., yang mengatakan: “Pada suat hari (waku itu adalah hari raya di mana orang-orang Sudan sedang menari dengan memainkan alat-alat penangkis dan senjata perangnya di dalam mesjid) Rasulullah S.A.W. masuk ke tempatku. Di sampingku ada dua budak perempuan yang sedang mendendangkan nyanyian (tentang hari) Bu’ats dengan menggunakan rebana. Ku lihat Rasulullah S.A.W. berbaring tetapi dengan memalingkan mukanya. Pada saat itu Abu Bakar masuk dan ia marah kepada kedua budak perempuan itu. Katanya, “Di tempat Nabi ada seruling setan?” Mendengar seruan itu, Nabi lalu menghadapkan mukanya kepada Abu Bakar sambil berkata: Biarkanlah keduanya hai Abu Bakar, karena hari ini adalah hari raya.”
Para ulama mengatakan bahwa Hadits di atas diriwayatkan dengan cara muallaq (tanpa menyebutkan sanadnya), dan kata al-ma’azif belum disepakati makna pastinya. Ada yang mengartikan dengan hiburan (dalam pengertian umum) dan ada pula yang mengartikannya dengan alat musik. Jadi Hadits ini tidak menunjukkan secara jelas hukum haramnya alat musik itu. Kemudian kata yastahilluna yang dipahami sebagai perbuatan kufur seperi zina, sutera, dan khamr adalah haram, namun tidak demikian dengan alat musik. Jadi Hadits ini mengisyaratkan bahwa memainkan alat musik adalah halal, namun akan menjadi haram hukumnya apabila kegiatan itu dicampurkan dengan perbuatan zina, sutera, dan khamr. Dengan demikian Hadits ini tidak boleh dipakai sebaga dalil untuk mengharamkan lagu dan penggunaan alat-alat musik, karena tidak memiliki batasan yang jelas.
Seterusnya sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Abu Daud dan disahihkan oleh Ibnu Hibban, seperti yang diturunkan berikut ini.
“Sekelompok dari umaku akan minum khamr, menyebutnya dengan nama (baru) selain nama khamr. Para pemusik bersama penyanyi wanita akan melakukan persembahan di hadapan mereka. Kemudian mereka akan dilenyapkan ke dalam tanah dan dijadikan sebahagian dari mereka dalam bentuk kera dan iblis.”
Sebahagian ulama menafsirkan hadits ini sebagai ancaman kepada para peminum khamr, dan keberadaan para penyanyi wanita di hadapan lelaki fasik juga haram hukumnya. Sedangkan keberadaan alat musik di sini hanya sebagai pelengkap. Jadi hadits ini hampir sama maksudnya dengan hadits sebelumnya, yang mengisyaratkan bahwa permainan alat musik menjadi haram hukumnya apabila dicampurkan dengan perbuatan khamr dan penyanyi-penyanyi wanita. Dengan demikian, hadits ini juga tidak dipakai sebagai dalil untuk mengharamkan musik secara umum.
Pada hadits lain diterangkan bahwa Rasulullah S.A.W. melarang kaumnya untuk berada di tempat-tempat persembahan seperti di kelab malam, diskotik dan sejenisnya selari dengan sabda baginda: “Sekelompok umatku akan menghalalkan permainan alat-alat musik dan penyanyi wanita (bersama mereka).”
Secara asas hadits-hadits di atas menghaalkan penggunaan alat-alat apabila dilakukan dalam batas-batas kewajaran. Misalnya dilakukan pada hari-hari tertentu seperti pada pesta pernikahan dan pada ari-hari gembira lainnya. Sebaliknya akan menjadi haram hukumnya apabila alat-alat musik dipergunakan di luar batas-batas yang telah digariskan oleh syara’, seperti dicampurkan dengan perbuatan-perbuatan kufur (zina, sutera dan khamar) dan hadirnya penyanyi-penyanyi wanita di hadapan lelaki fasik di tempat-tempet persembahan tertentu.
Lagu dan Tari dalam Pandangan Fukaha dan Mazhab Islam
Seni musik dalam Islam mempunyai kedudukan tertentu, seperti yang dikemukakan oleh para fukaha dan mazhab Islam. Umumnya pandangan mereka juga berasaskan Al-Qur’an dan Hadits, dengan ijtihad masing-masing.
Imam Asy-Syaukani, dalam kitabnya Nailul Authar menyebutkan bahwa para ulama berselisih pendapat tentang hukum menyanyi dan alatan musik. Menurut Mazhab Jumhur adalah haram, sedangkan Mazhab Ahlul Madinah, Azh-Zhahiriyah dan Jamaah Sufiyah memperbolehkan.
Abu Mansyur Al Baghdadi dari Mazhab Asyafi’i menyatakan bahwa Abdullah bin Ja’far berpendapat bahwa lagu dan musik instrumental itu tidak menjadi masalah. Dia sendiri pernah menciptakan lagu untuk dinyanyikan oleh seorang budak perempuan (jawari) dengan iringan alat musik rebab, pada msa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.
Ulama-ulama Syafi’iyah seperti yang dierangkan oleh Al-Ghazali, megatakan bahwa nash-nash syara’ (teks hukum Islam) telah menunjukkan bahwa menyanyi dan menari, memukul rebana, sambil bermain dengan perisai dan senjata-senjata perang pada hari raya adalah mubah (boleh)—sebab hari raya itu adalah hari untuk bergembira. Hari bergembira ini selanjutnya dikiaskan untuk hari-hari lain, seperti khatan dan semua hari kegembiraan yang memang dibolehkan oleh syara’.
Al-Ghazali mengutip perkataan Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa sepanjang pengetahuannya tidak ada serang pun dari ulama Hijaz (salah satu wilayah Arab Saudi) yang benci mendengarkan nyanyian, meskipun diakui nyanyian tersebut telah pun bercampur dengan hal-hal yang dilarang oleh syara’.
Para ulama Hanafiyah mengatakan bahwa nyanyian yang diharamkan itu adaah nyanyian yang mengandung kata-kata yang tidak baik seperti menyebutkan sifat-sifat jejaka dan dara, atau sifat-sifat manusia yang masih hidup. Adapun nyanyian yang memuji keindahan bunga, air terjun, gunung dan pemandangan alam lainnya, tidak dilarang sama sekali. Memang ada orang-orang yang menukilkan pendapat dari Imam Abu Hanafiah yang mengaakan bahwa mendengarkan nyanyian dianggapnya telah melakukan perbuatan dosa. Di sini harus difahami bahwa nyanyian yang dimaksud Imam Hanafi adalah nyanyian yang bercampur dengan hal-hal yang dilarang syara’.
Para ulama Malikiyah mengatakan bahwa alat-alat permainan yang digunakan untk memeriahkan pesta pernikahan hukumnya boleh. Alat-alat genta, musik khusus untuk peristiwa seperti ini misalnya gendang, rebana yang tidak memakai genta, seruling, dan terompet.
Para ulama Hanbaliyah mengatakan bahwa dalam prktik musik tidak boleh dipergunakan alat-alat musik seperti: gambus, gendang, rebana, dan yang serupa dengannya. Adapun tentang nyanyian atau lagu hukumnya boleh. Bahkan sunat melagukannya ketika membaca ayat-ayat Al-Qur’an, asal tidak sampai mengubah aturan-aturan bacaannya.
Menurut Al-Ghazali, mendengar musik itu ada lima hukumnya, yaitu: harus, sunat, wajib, makruh, dan haram. Untuk musik Islam Al-Ghazali mengklasifikasikannya ke dalam tujuh kategori, yaitu: (1) lagu yang membangkitkan kerinduan untuk menziarahi tempat-tempat suci seperti Mekah dan Madinah; (2) lagu yang mengobarkan semangat untuk berjuang mempertahankan akidah dan negara; (3) lagu yang isinya bertema pertarungan dan sikap jantan yang tdak pantang menyerah di saat-saat genting; (4) mengenang peristiwa masa lalu, sehingga mengingatkan diri tentang hakikat hidup; (5) lagu yang menyifatkan keadaan ketika sukacita untuk menghargai suasana tersebut dan menikmati kenanganya selama mungkin; (6) lagu ghazal yang sopan yaitu berisikan tema tetan kisah cinta dan membayangkan harapan untuk bertemu dan pertautan yang lebih erat di masa yang akan datang, dan (7) lagu yang berisikan tema tentang keagungan dan sifat-sifat Allah, memuji erta mentahmidkan kebesaran Allah.
Selanjutnya para ahli syara’ sebagaimana dikatakan oleh Mahmud Syaltut mengungkapkan bahwa mendengar musik yang indah, baik vokal manusia, binatang, mahupun alat-alat musik, selama tidak melalaikan kewajiban agama dan tidak merusakkan akhlak tidak dilarang, hukumnya harus.
Kesimpulan
Dari beberapa ayat suci Al-Qur’an, hadits, dan pandangan-pandangan fukaha serta empat mazhab Islam di atas terlihat bahwa sebenarnya Islam membagi perhatian dan kedudukan yang jelas tentang lagu dan tari. Pada asasnya hukum lagu dan tarian dalam Islam itu mubh atau boleh, selama tidak melalaikan kewajiban agama Islam, dan tidak disertai dengan hal-hal yang haram. Selain itu ia dinyanyikan sesuai dengan etika Islami dan ajaran-ajarannya. Dilakukan dalam perisiwa kegembiraan yang diisyaatkan Allah, seperti resepsi nikah kawin, hari raya, dan hari gembira lainnya. Bahkan para ahli syara’ mengungkapkan bahwa sesungguhnya esensi seni musik dalam Islam mempunyai kedudukan “harus” apabila mencerminkan kegiatan Islami yang merujuk kepada ketundkan kepada Allah.
Sebaliknya lagu dan tari akan menjadi haram hukumnya apabila disertai dengan perbuatan haram atau mengkar, misalnya minum khamr, bercampurnya lelaki dan perempuan dengan bebas dalam sebuah pesta (atau yang menampilakan aurat wanita); isi atau teksnya bertentangan dengan akidah Islam, misalnya lagu rintihan cinta yang menimbulkan nafsu birahi, kotor dan porno. Tidak peduli apakah lagu itu berbentu vokal atau diiringi dengan musik, baik yang dilakukan oleh lelaki maupun perempuan. Karena pada asanya lagu adalah perkataan, ia akan baik jika disusun dengan kata-kata yang baik, sebaliknya ia akan jelek apabila dirangkai dengan kata-kata yang jelek. Jadi perkataan yang kandungan isinya haram maka haram hukumnya.
===========================================================================================================
[1]Sebagaimana watak pemikiran posmodernime yang selalu mengaitkan pemikiran dengan kekuasaan, gerakan Islam liberal tampaknya mengikuti gaya ini. Oleh karena itu salah satu hasil pemikiran dalam Islam liberal adalah politik adalah salah satu agenda penting. Dalam kenyataannya pemikiran Islam liberal memulai gerakannya dengan perhatian utama pada membendung kekuatan arus pemikiran yang diistilahkan dengan fundamentalisme. Beberapa pemikir dari gerakan liberalisme dalam Islam, ada juga yang mengistilahkan kelompok fundamentalisme tadi dengan sebutan Islam literal, Islam tekstual, Islam garis keras, Islam ortodoks, dan Islam salafi. Teknik gerakan liberalisme menghadang kelompok fundamentalisme cenderung frontal, konfrontatif, dan tidak persuasif. Tokoh-tokoh pemikir liberal di kalangan masyarakat Dunia Islam muncul dengan ide-ide menyerang pemikiran alur utama (mainstream) umat Islam. Pandangan-pandangan mereka terhadap kelompok salafi yang mereka anggap sebagai kelompok fundamentalis lebih keras--ketimbang kritik mereka terhadap para pemikir Barat. Disebabkan oleh sejak awal mereka mengusung ide pluralisme agama, maka dampaknya mereka lebih keras mengkrikik umat dan ajaran Islam dibandingkan dengan umat dan agama lain. Padahal dalam ajaran Islam sesama muslim adalah saudara, saling bekerjasama menegakkan ajaran Allah.
Terminologi fundamentalisme muncul pertama kali pada tahun 1920, yang dikemukakan oleh Curtis Lee Laws, yang maknanya merujuk kepada golongan American Protestant Christian (Kristen Protestan Amerika) yang menentang modernisme dan liberalisme, terutama Darwinisme. Fanatisme mereka terhadap Christianity dan penentangan terhadap pembaharuan ini menjadi ciri utama fundamentalisme golongan Kristen ini. Oleh karena itu, istilah fundamentalisme ini sinonim dengan fanatik, ekstrimis, dan militan. Sehingga akhirnya terminologi tersebut memiliki konotasi dan denotasi negatif, mencemooh, dan memojokkan. Penggunaan terminologi fundamentalisme dalam Dunia Islam muncul dan menjadi populer setelah revolusi Iran, 1979, yang maknanya merujuk kepada aktivis militan golongan Shi’ah di Iran, yang memprotes segala aktivitas Barat, mempromosikan penentangan terhadap kepentingan Barat. Bahkan kemudian berkembang pula makna fundamentalisme ini yang dikaitkan dengan aksi-aksi terorisme. Menurut Veitch istilah fundamentalisme telah digunakan dengan sewenang-wenang oleh media dan penulis-penulis Barat—sehingga tidak hanya melingkupi golongan radikal dan ekstrim saja, tetapi mencakup pula golongan reformis dan revivalis (Veitch 1993). Selaras dengan pandangan Veitch, Khursid Ahmad menyangkal dimasukkannya gerakan revivalis ke dalam kategori fundamentalis, fanatik, dan militan. Karena gerakan-gerakan tersebut tidak bersifat demikian.
[2]Hadits, hadits atau hadis (bahasa Arab: hadīth mufrad; ahādīth jamak); adalah tradisi-tradisi berkaitan kata-kata dan perbuatan bagi nabi Muhammad s.a.w. Koleksi-koleksi hadis dianggap sebagai alat penting untuk menentukan Sunnah, atau cara hidup Islam, oleh semua sekolah-sekolah tradisional perundangan. Hadis dijadikan sumber hukum dalam Islam selain Al-Qur’an, Ijma dan Qiyas. Ada banyak ulama periwayat hadis, namun yang sering digunakan dalam fiqh Islam ada tujuh yaitu Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i dan Imam Ibnu Majah. Sumber:"http://ms.wikipedia.org/wiki/Hadits"
3Penjelasan secara rinci tentang keempat Mazhab Sunni ini, lihat tulisan Munawar Chalil 1955. Dalam tulisan ini dikupas tentang biografi keempat Imam Mazhab Sunni, serta pandangan-pandangannya. Dalam kesimpulan tulisannya Munawar Chalil melihat persamaan-persamaan umum keempat Imam itu, yaitu: kecintaan mereka terhadap ilmu pengetahuan, pembelaan mereka terhadap Al-Qur’an dan Hadits, keberanian dalam mengungkapkan kebenaran, jauh dari sifat mengelabui umat. Perbedaan-perbedaan mereka hanyalah dari segi ijtihad terhadap ajaran Islam, yaitu dengan dasar: (1) Mazhab Hanafi berdasar kepada Kitab Allah (Al-Qur’an), Sunnah Rasulullah S.A.W. dan atsar yang sahih serta masyhur di antara para ulama yang ahli, fatwa-fatwa para sahabat Nabi; qiyas, istihsan; adat atau tatacara yang telah berlaku dalam masyarakat Islam; (2) Mazhab Maliki berdasar kepada kitab Allah S.W.T. (Al-Qur’an), sunnah Rasulullah S.A.W. yang telah dipandang syah oleh Imam Maliki; ijma’ para ulama ahli Medinah di kala itu; qiyas; istishlah atau mashalihul mursalah; (3) Mazhab Syafi’i berdasarkan kepada menurut bunyi dzahirnya ayat Al-Qur’an; sunnah Rasulullah S.A.W. dan Hadits yang ahad selama perawinya memenuhi dan mencukupi syarat yang ditentukan oleh Imam Syafi’i; ijma’ dengan syarat tidak menimbulkan perselisihan bagi segenap para ulama dan wali; qiyas; dan istidlal. (4) Mazhab Hambali berdasar kepada: Nash Al-Qur’an dan Hadits Shalih fatwa-fatwa para sahabat Nabi Muhammad (ijma’ sahabi); fatwa sahabat Nabi yang masih diperselisihkan dipilihnya yang lebih dekat kepada Al-Qur’an atau Sunnah; Hadits mursal dan Hadits dhaif serta qiyas.
[4]Masalah kedudukan hukum musik dalam Islam, silahkan lihat Al-Faruqi (1999), Qardhawi (1998), Ibrahim Ismail (1992), Muhammad Qutb (1992), Ridwan (1994), Al-Ghazali (1413 H), Al-Baghdadi (1992), Gazalba (1988), Shalihah (1983), Hoesin (1981), dan lain-lainnya.
---------------------------------------------------------------------
Muhammad Takari bin Jilin Syahrial
Pengantar
Secara rasial etnik atau masyarakat, orang-orang Melayu mengakui berbagai agama yang dianut oleh orang rumpun Melayu. Namun dalam pengertian lebih sempit, orang-orang Melayu sejak abad ke-13 mengidentitaskan pula dirinya sebagai seorang muslim, seperti yang ada di kawasan Nusantara ini. Ini tidak bermakna bahwa orang Melayu tidak menghargai perbedaan akan adanya agama lain. Masuknya Islam sebagai bahagian dari identitas Melayu ini, sesuai dengan ajaran Islam, masuklah Islam secara menyeluruh, termasuk dalam budaya. Dengan demikian, maka segala kebudayaan Melayu selalu merujuk kepada ajaran Islam.
Konsep Kebudayaan dalam Islam
Istilah kebudayaan memang tak asing bagi kita khususnya yang berkecimpung di dunia ini, apakah itu sebagai agamawan, budayawan, seniman, penikmat budaya, pelaku budaya dan seni dan lainnya. Namun kita juga sering bertanya apakah setiap agama, masyarakat, ras, dan etnik, memiliki persepsi sendiri tentang kebudayaan. Apakah terdapat persepsi yang sifatnya umum atau khusus dalam memandang budaya? Begitu juga halnya dengan agama Islam. Bagaimaan konsep kebudayaan dalam pandangan Islam?
Secara saintifik, kebudayaan dibahas secara luas dan mendalam dalam sains antropologi ataupun sosiologi. Seperti yang diuraikan di dalam antropologi, banyak para pakar kebudayaan mendefinisikan kata kebudayaan atau dalam adanan Inggrisnya culture. Sampai tahun 1950 paling tidak ada 179 definisi kebudayaan yang dikemukakan oleh para ahli. Namun kemudian, dari berbagai definisi itu didapati berbagai kesamaan, paling tidak kebudayaan memiliki dua dimensi yaitu isi dan wujud. Seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1980) yang mengutip pendapat Claude Kluckhohn, bahwa kebudayaan adalah sebagai seluruh ide, gagasan, dan tindakan manusia dalam angka memenuhi keperluan hidup sehari-hari, yang diperoleh melalui proses belajar mengajar (learned action). Kemudian ditinjau secara umum, budaya terdiri dari dua dimensi, yaitu wujud dan isi. Dalam dimensi wujud, budaya terdiri dari tiga unsur, yaitu: (1) wujud dalam bentuk ide atau gagasan, (2) wujud dalam bentuk aktivitas atau kegiatan, dan (3) wujud dalam bentuk benda-benda atau artifak. Ditinjau dari dimensi isi, atau sering disebut tujuh unsur kebudayaan universal, maka kebudayaan terdiri dari tujuh unsur yaitu: (1) sistem religi, (2) bahasa, (3) teknologi dan peralatan hidup, (4) sistem mata pencaharian, (5) sistem organisasi sosial, (6) pendidikan, dan (7) kesenian. Unsur kebudayaan yang terakhir, yaitu kesenian sering juga disinonimkan dengan istilah seni budaya.
Dalam kajian budaya, sering pula dikenal istilah peradaban (sivilisasi), yaitu unsur-unsur kebudayaan yang maju, halus, dan tinggi (lihat Webster’s 1960 dan L.H. Morgan 1877). Kata ini, biasa merujuk kepada peradaban-peradaban seperti: Sumeria, Assiria, Indus, Babilonia, Inca, Oriental, Oksidental, Harappa, Mahenjo-Daro, dan lain-lain. Istilah peradaban itu sendiri merupakan unsur serapan bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab yaitu dari akar kata adab. Umumnya pengertian budaya menurut para ilmuwan Barat seperti yang dikemukakan dalam antropologi dan sosiologi, adalah bahwa agama atau sistem religi sebagai bagian dari unsur kebudayaan yang sejajar dengan unsur budaya lain. Dalam Islam, agama memiliki dimensi Ilahiyah atau wahyu, dalam dimensi sedemikian rupa tidak termasuk dalam budaya, bahkan budaya wajib berasaskan kepada wahyu. Sebaliknya, kreativitas manusia dalam rangka mengisi budaya dapat dikategorikan sebagai budaya.
Istilah Padanan Budaya dalam Islam
Dalam Islam, jika dibicarakan istilah kebudayaan, biasanya selalu merujuk kepada kandungan makna pada kata-kata atau istilah yang sejenis. Adapun padanan kata budaya itu adalah: millah, ummah, tahaqafah, tamaddun, hadharah, dan adab. Istilah ini dipakai dalam seluruh kurun waktu sepanjang sejarah Islam.
Millah
Terminologi millah, yang bentuk jamaknya milal (), terdapat dalam Al-Qur’an, yang digunakan untuk merujuk keadaan kebudayaan yang berhubungan dengan syariat Nabi Ibrahim Alaihissalam. Millah artinya adalah agama, syariat, hukum, dan cara beribadah. Millah seperti yang disebutkan di dalam Al-Qur’an, maknanya ditujukan umat Islam, atau golongan manusia yang suci, yang berpegang teguh kepada agama Allah, serta mengamalkan sistem syariat, serta meraka yang menjalankan tugas-tugas rohaniah dalam hidup dan peradabannya.
Dalam konteks sejarah, Nabi Ibrahim Alaihissalam adalah peletak dasar agama monoteisme yang hanya menyembah kepada Tuhan yang Ahad. Ia menyatakan dengan tegas bahwa adalah perbuatan salah bila manusia menyembah sesuatu selain Allah, misalnya patung. Maka ia pun dihukum dengan cara dibakar api oleh penguasa negeri saat itu, yaitu Raja Namruz. Namun dengan kuasa Allah akhirnya ia tidak terbakar. Nabi Ibrahim melakukan penyucian akidah umat melalui ajaran-ajaran Allah. Ia termasuk salah seorang Rasul yang Ulul Azmi (lima dari dua puluh lima Rasul yang memiliki “keistimewaan”).
Ummah
Selain itu, ada sebuah istilah lagi yang lazim digunakan dalam Islam, dalam kaitannya dengan kebudayaan, yaitu ummah. Istilah ini mengandung makna sebagai orang-orang muslim dalam bentuk masyarakat kolektif. Istilah ini yang pluralnya adalah umam dipergunakan dalam Al-Qur’an untuk menyebut umat Islam, sebagai umat terbaik, yang artinya:
كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنڪَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ وَلَوۡ ءَامَنَ أَهۡلُ ٱلۡڪِتَـٰبِ لَكَانَ خَيۡرً۬ا لَّهُمۚ مِّنۡهُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَأَڪۡثَرُهُمُ ٱلۡفَـٰسِقُونَ
“Kamu (wahai umat Muhammad) adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi (faedah) umat manusia, (karena) kamu menyuruh berbuat
segala perkara yang baik dan melarang dari segala perkara yang salah (buruk dan keji) serta kamu pula beriman kepada Allah (dengan
sebenar-benar iman) dan kalaulah Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) itu beriman (sebagaimana yang semestinya), tentulah (iman) itu
menjadi baik bagi mereka. (Tetapi) di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka orang-orang yang fasik.” (Q.S. Ali Imran:
110).
Pengertian di dalamnya ialah bahwa umat Islam itu ialah golongan manusia yang suci, mukaddas, bukan sekuler atau profan, tanpa tujuan-tujuan—memiliki sifat-sifat pelaksana ajaran dan syariat Tuhan. Umat umumnya memiliki sifat ma’mum, yaitu terpimpin. Pimpinan disebut imam. Dalam sejarah Islam, pemimpin tertinggi ialah Rasulullah S.A.W. Dalam menjalani kehidupannya, umat itu wajib melaksanakan syariat, yaitu asas agama untuk mengarahkan kehidupan yang ditentukan dalam tanzil, wahyu yang diturunkan, bukan berdasarkan semata-mata kepada pemikiran sendiri. Hidup mereka meniru Rasulullah S.A.W. Umat Islam wajib menjadi contoh kepada segenap umat manusia di dunia. Dengan demikian, umat Islam bererti kumpulan manusia yang mendasarkan hidupnya kepada syariat Ilahi, dengan pimpinan suci, dan membentuk kumpulan manusia yang berkedudukan suci, bukan mengutamakan aspek keduniawian, serta berada dalam dimensi transenden.
Perkataan ummah diambil dari bahasa Arab umm yang artinya ibu. Di dalam Al-Qur’an terdapat 64 kali perkataan ummah, 13 di antaranya menggunakan kata jamak umam. Jika dilihat dari penggunaan kata ummah di dalam Al-Qur’an, maka kata ini memiliki beberapa pengertian. Misalnya dalam Al-Qur’an difirmankan Allah, seperti berikut ini.
كَذَٲلِكَ أَرۡسَلۡنَـٰكَ فِىٓ أُمَّةٍ۬ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهَآ أُمَمٌ۬ لِّتَتۡلُوَاْ عَلَيۡہِمُ ٱلَّذِىٓ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ وَهُمۡ يَكۡفُرُونَ بِٱلرَّحۡمَـٰنِۚ قُلۡ هُوَ رَبِّى لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ عَلَيۡهِ تَوَڪَّلۡتُ وَإِلَيۡهِ مَتَابِ
Artinya: “Demikianlah, Kami utuskan engkau (wahai Muhammad) kepada satu umat yang telah lalu sebelumnya beberapa umat
yang lain, supaya engkau membacakan kepada mereka Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepadamu, sedang mereka kufur kepada
(Allah) Ar-Rahman. Katakanlah: Dialah Tuhanku, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. KepadaNyalah aku berserah
diri dan kepadaNyalah tempat kembaliku (dan kamu semuanya).” (Ar-rad:30)
Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan bahwa ummah memiliki pengertian kepercayaan sebuah kumpulan manusia, seperti yang dibentangkan berikut
بَلۡ قَالُوٓاْ إِنَّا وَجَدۡنَآ ءَابَآءَنَا عَلَىٰٓ أُمَّةٍ۬ وَإِنَّا عَلَىٰٓ ءَاثَـٰرِهِم مُّهۡتَدُونَ
وَكَذَٲلِكَ مَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ فِى قَرۡيَةٍ۬ مِّن نَّذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتۡرَفُوهَآ إِنَّا وَجَدۡنَآ ءَابَآءَنَا عَلَىٰٓ أُمَّةٍ۬ وَإِنَّا عَلَىٰٓ ءَاثَـٰرِهِم مُّقۡتَدُونَ
Artinya: 22. “Tidak ada sebarang bukti bagi mereka bahkan mereka (hanyalah) berkata: Sesungguhnya kami telah mendapati
datuk nenek kami menurut satu jalan agama dan sesungguhnya kami beroleh petunjuk menurut jejak mereka saja.”
23. “Dan demikianlah halnya (orang-orang yang taklid buta); Kami tidak mengutus sebelummu (wahai Muhammad) kepada (pen-
duduk sesebuah negeri, seseorang Rasul pemberi amaran, melainkan orang-orang yang berada dalam kemewahan di negeri itu
berkata: Sesungguhnya kami dapati datuk nenek kami menurut satu jalan agama dan sesungguhnya kami hanya mengikut jejak
mereka saja.” (surah Az-Zukhruf: 22-23)
Perkataan ummah juga diartikan sebagai sebuah masyarakat yang bertanggung jawab terhadap keutuhan kelompoknya, yaitu menjalankan hak dan memperjuangkan keadilan (Quran 7:159). Sebagai contoh Nabi Ibrahim dianggap sebagai seorang umat yang beriman kepada Allah dan menjalankan tanggung jawabnya sebagai rasul kepada kaumnya. Begitu juga dengan kaum Nabi Musa yang mengikuti perintah Allah, melakukan kebaikan dan menjauhi kemungkaran.
Sergeant (dalam Abdullah Al-Ahsan 1992:12) berpendapat bahwa kata ummah telah ada sebelum kelahiran Nabi Muhammad. Namun penjelasan mengenai ummah di dalam Al-Qur’an, adalah membicarakan tentang manusia yang datangnya dari satu komunitas (ummatan wahdatan Q.S. 10:19), yang berasal dari Adam dan Hawa disertai dengan kisah-kisah tentang umat terdahulu yang tidak mempraktikkan bagaimana kondisi ummah yang sebenarnya. Setelah Nabi Muhammad diutus sebagai Nabi akhir zaman, Rasulullah mengenalkan konsep ummah ini berlandaskan ajaran Islam, hingga digunakan terus hingga sekarang.
Dalam ajaran Islam perpaduan ummah tidak bermakna bahwa masyarakat Islam melupakan kaum (etnik, suku, bangsa) mereka. Selain itu, mereka harus menerima kaum dan bangsa lain sebagai saudara mereka. Misalnya Nabi Muhammad tetap mengingat dirinya dari Bani Hasyim dan bersuku Quraisy. Selain itu Nabi Muhammad juga selalu mengingatkan kaumnya yang telah memeluk Islam untuk menghormati dan menyayangi keluarga mereka yang bukan Islam, serta menunjukkan akhlak mulia kepada mereka.
Dalam konteks sejarah Islam, meskipun konsep ummah yang dikenalkan oleh Rasulullah pengertiannya merujuk kepada umat Islam, namun beliau mengijinkan bangsa Yahudi dan lainnya tinggal di Madinah. Mereka dijamin keselamatannya dan diperbolehkan mengamalkan ajaran agamanya selagi mereka tunduk kepada undang-undang Perlembagaan Negara Islam. Kaum Yahudi Medinah ini disebut dengan sebutan terhormat ummah ma’al al-muslimin (umat bersama orang Islam).
Konsep ummah yang ingin dituju oleh Islam adalah sebuah kelompok masyarakat yang beriman kepada Allah, Rasul-rasul dan kitab-Nya bersatu di bawah panji Islam menjadi komunitas terbaik tanpa menonjolkan jenis bangsa, bahasa, ras, warna kulit, dan negeri.
Athtahaqafah
Kata lain yang maknanya merujuk kepada kebudayaan dalam Islam adalah atahaqafah (), yang biasanya digabung dengan al-Islamiyah, artinya adalah keseluruhan cara hidup, berpikir, nilai-nilai, sikap, institusi, serta ertifak yang membantu manusia dalam hidup, yang berkembang dengan berasaskan kepada syariat Islam dan sunnah Nabi Muhammad.
Dalam bahasa Arab, atahaqafah artinya adalah pikiran atau akal seseorang itu menjadi tajam, cerdas, atau mempunyai keahlian yang tinggi dalam bidang-bidang tertentu. Selanjutnya istilah taqafah () berarti membetulkan sesuatu, menjadi lebih baik dari pada keadaan yang dulunya tidak begitu baik, ataupun menjadi berdisiplin. Kata taqafah artinya adalah ketajaman, kecerdasan, kecerdan akal, dan keahlian yang tinggi, yang diperoleh melalui proses pendidikan. Jadi istilah ini, menekankan kepada manusia untuk selalu menggunakan fikirannya, sebelum bertindak dan menghasilkan kebudayaan.
Al-Hadarah
Terminologi al-hadarah digunakan untuk menyebut kehidupan manusia secara kolektif dan peradaban yang tinggi (sivilisasi). Istilah al-hadarah berasal dari kata dasar, hadhara, yahduru, dan hadaratan, yang artinya adalah bermukim dalam kawasan negeri atau tempat yang ramai yang membedakannya dari negeri atau tempat yang sunyi, badiyah. Istilah hadar dan hadarah dalam bahasa Arab klasik bermaksud kawasan yang didiami oleh manusia berupa perkotaan atau kehidupan yang relatif maju. Istilah ini memiliki makna bahwa indikator kebudayaan yang dianggap maju dan tinggi adalah dengan munculnya kota-kota dengan sistem sosial yang kompleks. Namun bagaimanapun pedesaan tetap diperlukan dalam sebuah peradaban, sebagai mitra dari kota-kota. Eksprsi al-hadarah dalam kesenian Islam, diwujudkan dalam genre hadrah. Hadrah ini sejak abad kelima belas menjadi bagian dari kesenian sufi, khususnya tariqat Rifaiyah.
At-tamaddun
Tamaddun () atau bentuk jamaknya tamaddunan () berasal dari bahasa Arab, yang maknanya sering disejajarkan dengan istilah civilization dalam bahasa Inggris. Sivilisasi sendiri awalnya berasal dari bahasa Perancis. Hingga tahun 1732, kata ini merujuk kepada proses hukum. Pada akhir abad ke-18, istilah ini memiliki pengertian yang meluas tidak hanya sebatas sebagai hukum, tetapi juga tahapan paling maju dari sebuah masyarakat. Hawkes (1980:4) mengertikan sivilisasi sebagai kualitas tinggi yang dimiliki masyarakat. Menurut orang Yunani, masyarakat yang tidak memiliki kota adalah masyarakat yang tidak beradab, tidak memiliki sivilisasi. Collingwood mendefinisikan sivilisasi sebagai sebuah proses untuk mencapai suatu tahap kehidupan masyarakat sipil atau menjadi lebih sopan. Hasilnya melahirkan masyarakat perkotaan, masyarakat yang memiliki kehalusan budi. Johnson menyatakan bahwa sivilisasi adalah sebagai suatu keadaan yang bertentangn dengan kehidupan barbar, yang mencapai tahap kesopanan yang tinggi (Collingwood 1947:281).
Childe seorang sejarawan materialisme memberi penekanan kepada pencapaian material sebagai lambang peradaban (sivilisasi) suatu masyarakat. Menurutnya sivilisasi mempunyai maksud yang sama dengan revolusi perkotaan. Ia berpendapat bahwa pengukuran sivilisasi berdasar kepada adanya kota atau sivilisasi urban, berdasarkan kepada kajiannya pada budaya masyarakat Sumeria di Sungai Eufrat dan Tigris tahun 4000 S.M., yang memperlihatkan kota-kota seperti Uruk, Lagash, Eridu, Ur, dan lainnya (Collingwood 1947:5).
Farmer mendefinisikan sivilisasi sebagai unit budaya yang besar dan mengandung norma-norma sosial, tradisi, dan institusi yang dimiliki bersama dan diwarisi dari satu generasi ke generasi berikutnya (Farmer 1977:xxxix). Schwetzer, seorang filosof Jerman yang memenangi hadiah Nobel Perdamaian 1954, mendefinisikan sivilisasi sebagai keseluruhan kemajuan yang dibuat oleh manusia dalam setiap aktivitas dan gagasan, yang membawa kepada penyempurnaan kerohanian individu dan komunitas. Pendapat lain tentang sivilisasi adalah sebagai satu budaya yang telah mencapai tahap kompleksitas yang lazim dicirikan oleh adanya perkotaan yang menyediakan ahli-ahli khusus di bidang ekonomi, sosial, politik, dan agama untuk memenuhi keinginan masyarakat (Jones 1960:10).
Konsep kebudayaan dalam Islam juga melibatkan istilah at-tamaddun, dan kebudayaan Islam disebut at-tamaddun al-Islami. Istilah ini merujuk kepada karangan terkenal Tarikh at-Tamaddun al-Islami yang ditulis oleh Jurzi Zaidan. Istilah ini berasal dari kata dasar maddana, yamduru, dan mudunan, yang artinya adalah datang ke sebuah bandar, dengan harf bi yang bermakna menduduki suatu tempat, maddana pula ertinya membangun bandar-bandar atau kota-kota, atau menjadi kaum atau seseorang yang mempunyai peradaban.
Dari istilah maddana ini muncul istilah lanjutan madinah yang artinya adalah kota dan madani yang berasal dari kata al-madaniyah yang berarti peradaban dan kemakmuran hidup. Istilah ini awalnya dipergunakan oleh Ibnu Khaldun, seorang sosiolog Islam terkenal (Hussein 1997:91). Dalam perkembangan sosial di Asia Tenggara, istilah madani begitu giat dipopulerkan oleh Anwar Ibrahim, mantan wakil Perdana Menteri Malaysia. Pengetian istilah ini merangkum tingkah laku yang beradab seperti orang perkotaan, bersifat halus dalam budi bahasa, serta makmur dalam pencapaian material.
Adab
Di antara istilh-istilah yang berkaitan dengan konsep kebudayaan dalam Islam, yang selalu digunakan oleh para cendekiawan, termasuk di Asia Tenggara, adalah istilah adab () atau kata bentukannya peradaban. Ismail Faruqi menyatakan bahwa adab itu bererti culture atau kebudayaan. Dalam konteks ini kita kaji Hadits Nabi Muhammad SAW yang bermaksud: “Tuhan telah memberikan kepadaku pendidikan adab, addabani, dan Tuhan telah memperbaiki atau menyempurnakan pendidikan adab terhadapku.” Adab yang dimaksud adalah adab dalam pengertian yang paling luas, yang merangkumi kemampuan meletakkan sesuatu itu pada tempat yang sewajarnya, yaitu sifat yang timbul dari kedalaman ilmu dan disiplin seseorang. Sifat ini jika disebarkan ke dalam masyarakat dan kehidupan budaya, maka akan menimbulkan kesan yang alamiah dan menyeluruh di dalam kehidupan kolektif. Kesadaran tentang makna adab yang menyeluruh itu tercermin dalam kitab-kitab Islam, seeprti Adab ad-Dunya wad-Din karya Abul Hasan Al-Mawardi dan analisis tentang kehidupaan yang beradab dalam kitab karangan Imam Al-Ghazali Ihya ‘Ulumuddin.
Dalam bahasa Indonesia pula kata adab atau peradaban sering digunakan dalam berbagai literatur. Istilah peradaban biasanya merujuk kepada pengertian yang sama dengan sivilisasi dari bahasa Inggris. Kata ini memiliki pengertian sebagai unsur budaya yang dianggap mengandung nilai-nilai yang tinggi dan maju. Peradaban biasanya diakaitkan dengan hal-hal yang mencapai tahap kesempurnaan di masa dan ruang tertentu. Meskipun demikian, kalau digunakan istilah ini dengan berdasar kepada penilaian maju, maka itu adalah relatif. Dalam sejarah umat manusia, istilah ini digunakan untuk berbagai peradaban yang maju, seperti Indus, Sumeria, Assiria, Mesir, Inca, Oksidental, Oriental, dan lainnya. Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan tentang berbagai peradaban tersebut namun sebagian besar telah pupus ditelan sang zaman. Hanya sebahagian saja yang hidup, bekembang, dan kontinu hingga hari ini.
Ad-Din
Selain itu, dalam peradaban Islam sering juga digunakan istilah ad-din () yang berarti agama dalam pengertian yang paling luas, dengan sifat-sifat universalnya, baik itu segi akidah maupun amal. Oleh karena itu, istilah ini bersamaan maknanya dengan syariat sebagaimana yang dicatat di dalam kitab Tajul ‘Arus dan kepercayaan tentang mentauhidkan Allah, serta sifat-sifat ketakwaan dan kewarakan orang-orang saleh. Din juga berarti pengertian hukum atau aturan-aturan terentu. Istilah din juga berarti amalan ataupun upacara yang dilakukan, yang diwarisi dari beberapa generasi yang lalu. Dalam pengertian ini maka din sama maknanya dengan tradisi.
Ad-dinul Islam sebagai agama adalah satu-satunya kerangka umum kehidupan yang benar, dan oleh karenanya harus dilaksanakan secara total tanpa ada aspeknya yang tertinggal satu pun. Islam sebagai keimanan, hukum agama (syariat), dan pengembangan pola-pola aspek kehidupan, dalam totalitasnya berfungsi sebagai jalan hidup yang akan membawakan kesejahteraan bagi umat manusia.
Dalam totalitas jalan hidup itu dirumuskan arah, orientasi, wawasan dan lingkup kehidupan perorangan dan bermasyarakat manusia, dengan pola hubungan antara kaum muslimin dan yang bukan muslimin diatur di dalamnya. Dalam totalitas seperti itu tidak ada pembedaan antara aspek duniawi dan ukhrawi, karena semuanya saling menunjang. Dalam keadaan demikian tiada lagi hal yang tidak berwawasan keagamaan.
Bagi beberapa penulis, istilah agama Islam sebenarnya lebih tepat menggunakan Ad-dinul Islam, karena pengertiannya langsung merujuk kepada Islam sebagai satu-satunya agama yang disempurnakan Tuhan--dengan berbagai karakteritik khusus yang paling tepat dianut manusia zaman Rasulullah hingga kini. Ia diturunkan oleh Sang Khalik untuk makhluknya dengan ketepatan yang pasti.
Beberapa Penafsiran tentang Budaya
Dalam sejarah Islam terdapat berbagai konsep tentang budaya. Segolongan pemikir ada yang menyatakan bahwa Islam adalah wahyu Allah dan termasuk ke dalam agama samawi. Dengan demikian, Islam bukanlah kebudayaan, tetapi seperti yang dikemukakan Natsir (1954) Islam merupakan sumber kekuatan yang mendorong terbitnya suatu kebudayaan. Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah dari langit, melalui malaikat Jibril, dengan cara mewahyukannya kepada Nabi Muhammad. Islam bukanlah hasil atau bagian dari kebudayaan. Sebaliknya kebudayaan bukan bagian dari agama samawi. Kebudayaan hasil ciptaan manusia. Keduanya berdiri sendiri, namun dapat berhubungan dan membentuk kebudayaan terentu (lihat Anshari 1980 dan Ismail 1982).
Kelompok pemikir lain menyatakan bahwa Ad-dinul Islam, tidak haya terdiri dari “agama” atau “religi” saja, yaitu kumpuan doktrinal yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Islam terdiri dari agama dan kebudayaan sekali gus, yatiu Ad-din yang berasaskan Al-Qur’an dan Sunnah (Hadits), disempurnakan dengan ijtihad (penafsiran keagamaan). Namun Islam sebagai agama adalah agama wahyu dan agama samawi. Bahwa ruang lingkup ajaran Islam mencakup segi agama dan kebudayaan sekali gus. Islam selain mengatur segi-segi ritual keagamaan juga mengandung ajaran-ajaran yang dapat dijadikan asas kebudayaan (Gazalba 1965:21-30).
Mohammad Natsir dalam tulisan-tulisannya pada akhir tahun 1930-an telah menjelaskan bahwa berbagai asas kebudayaan Islam yang pada intinya merupakan ajaran yang mengandung roh intiqat atau ”kekuatan menyiasat” dan menyelidiki kebenaran yang ditanamkan oleh Islam kepada para pemeluknya. Hasil berpikir umat Islam ini dalam sejarah telah memperlihatkan ke muka bumi, bagaimana umat Islam telah mempunyai persediaan untuk menerima multibudaya dari bangsa-bangsa terdahulu: Yunani, Romawi, Persia, India, dan lainnya. Bagi Natsir agama datang, membangunkan, membangkitkan, serta menggemarkan akal berpikir, agar manusia memakainya dengan sebaik-baiknya sebagai suatu nikmat Ilahi nan maha indah. Namun ia juga mengingatkan fungsi agama dalam mengendalikan atau membatasi akal. Agama datang mengalirkan akal mengikuti aliran yang benar, jangan melantur ke arah mana pun. Islam datang bukan melepaskan akal seperti melepaskan kuda di tengah lapangan pacuan. Agama mengatur mana yang dilarang dan mana yang disuruh.
Dengan demikian para pemikir gerakan Islam pada dasarnya sepakat untuk membedakan “agama” sebagai wahyu Allah dan “kebudayaan” sebagai hasil karya manusia. Secara kontekstual keduanya memiliki hubungan, bukan saling berdiri sendiri. Oleh karena itu, kebudayaan manusia wajib berasas dan dibentuk oleh ajaran agama (Ad-din). Bukan kebalikannya. Agama mengarahkan arah yang tepat dalam berkebudayaan atau berperadaban. Manusia adalah makhluk yang memiliki berbagai kelemahan, untuk itu perlu dibimbing oleh agama. Namun di sisi lain, manusia adalah khalifah (pemimpin) di muka bumi ini, dengan berbagai kelebihan-kelebihannya. Terutama kalau dibandingkan dengan hewan maka kebudayaan manusia terus berkembang dalam ruang dan waktu yang ditempuhnya, sepanjang zaman.
Dalam pandangan Islam, aqidah, syariah, dan akhlak jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh akan berpengaruh kepada pembentukan dan pengembangan unsur-unsur kebudayaan seperti politik, ekonomi, sosial, teknologi, pendidikan, dan lain-lainnya. Yang ditekankan adalah pelaksanaan ajaran Islam. Pengaruhnya akan timbul dalam perilaku. Namun, dalam merumuskan konsep-konsep, dicari dahulu ajaran-ajaran yang relevan dan mengatur bidang-bidang kebudayaan itu. Yang tidak secara eksplisit diatur, akan dipikirkan secara sendiri, melalui ijtihad, penggunaan akal pikiran dan ilmu pengetahuan. Demikian sekilas konsep Islam mengenai kebudayaan, selanjutnya bagaimana tataran idea itu diaktualisasikan dalam sejarah, kita kaji perkembangannya.
Perkembangan Kebudayaan Islam
Kebudayaan Islam merupakan salah satu peradaban besar dalam sejarah peradaban manusia. Berbanding dengan beberapa peradaban besar lainnya yang telah hilang seperti Indus, Huang Ho, Mesir, Yunani, Romawi, Inca, dan lainnya, maka peradaban Islam masih terus berkembang, dari abad ke-6 sampai kini. Eksistensi peradaban Islam yang kontinu ini bukan saja memaparkan kegemilangannya namun juga memperlihatkan bahwa peradaban Islam mampu mengikuti perkembangan sang waktu. Peradaban Islam yang awalnya berasal dari Semenanjung Arab, kini tersebar ke seluruh dunia dengan berbagai proses adaptasinya yang menarik.
Kebudayaan Islam adalah kebudayaan yang melintasi wilayah etnik dan bangsa. Ia adalah milik seluruh umat Islam di dunia. Kebudayaan Islam meletakkan agama Islam sebagai dasar terpenting dalam perkembangannya. Berawal dari Mekah dan Medinah, berkembang ke seluruh Jazirah Arab dan keluar dari Tanah Arab ke seluruh penjuru dunia. Perkembangannya sangat pesat, hingga akhirnya Islam mampu muncul sebagai kuasa penting di beberapa kawasan seperti: Asia Tengah, Benua Kecil India, China, Afrika, Asia Tenggara, dan sebagian Eropah. Nabi Muhammad sejak awal telah membentuk generasi pertama Islam yang dijuluki sebagai al-jilu al-Rabbaniyu al-muntazim atau mereka yang menghayati dan mengamalkan setiap arahan Allah. Keadaan ini kemudian diteruskan di masa Khulafaur Rasyidin. Dalam periode ini, Islam berkembang pesat meliputi seluruh jazirah Arab, begitu juga wilayah kekuasaan Romawi dan Persia lambat-laun menjadi kawasan Islam.
Seiring dengan perkembangan wilayah, maka pembentukan peradaban juga tak dilupakan. Untuk ini didirikan berbagai perkotaan sebagai pusat peradaban Islam, seperti Damaskus (Damsyik) di Syria, Basrah, Kufah, Fustat di Mesir, Jerussalem di Palestina, dan lainnya. Dalam memandang perkembangan perkotaaan Islam ini, Lapidus (dalam Beg 1983:27) menjelaskan: “Muslim cities, then, were the products of Islamic civilization... Political institutions, religious values and forms of social organisation were the creations of city peoples.”
Setelah era Khulafaur Rasyidin, perkembangan kebudayaan Islam digerakkan dan dimotivasi oleh beberapa kerajaan Islam. Kerajaan Bani Umayyah dan Abbasiah muncul sebagai kekuasaan penting dalam mengembangkan syiar Islam. Oleh beberapa pakar politik, saat pemerintahan dinasti ini, aspek keduniawian lebih menonjol muncyl, dibanding era Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan Bani Umayyah Islam mencapai kawasan Asia, Afrika, dan Eropah.
Pada abad ke-8, beberapa kawasan Asia Tengah telah berada di dalam kekuasan Islam. Kemudian dilanjutkan dengan penyebaran Islam ke Bukhara, Samarkand, Khawarizmi, Farghnah, dan lainnya. Panglima Qutaibah bin Muslim telah berhasil menaklukkan Sinkiang dan Kansu. Tahun 713 seorang utusan muslim diterima oleh Maharaja Hsuan Tsung. Peristiwa ini adalah babak awal dalam perkembangan Islam di China (Yahaya dan Halimi 1993). Di Afrika Islam masuk dibawa oleh Hassan bin Nukman al-Ghassoni, yang kemudian diangkat sebagai gubernur pertama Afrika Utara dan Maghribi kemudian diagntikan oleh Musa bin Nusair (Amir Qairawan) (Abdullah 1999).
Spanyol adalah gerbang utama masuknya Islam ke Eropah (Barat). Masuknya Islam di kawasan ini adalah melalui penaklukan yang dipimpin Musa bin Nusair dan Tariq bin Ziad. Mereka menguasai beberapa kota penting seperti Carmona, Sevilla, Toledo, Granada, dan lainnya. Kekuasaan Islam bertapak di kawasan ini dari tahun 711 sampai 1492.
Di Timur Tengah (Asia Barat), selain Arab terdapat suku lain seperti Persia, Turki, dan Kurdi. Mereka ini setelah masuk Islam mendirikan beberapa kerajaan seperti Tahiriyah di Khurasan, Saffariyah di Fars, Samaniyah di Trensonksania, Sajidiyah di Azerbaijan, Ziyariyah di Jurjun, dan Buwaih di Irak. Begitu juga muncul kerajaan Islam antara abad ke-9 sampai 12 di Turki, Mesir, Turkestan, Asia kecil, dan lainnnya. Di India muncul kerajaan Islam Ghori, Kilji, Tughluq, Lodi, dan Mughal (An-Nadwi 1992:33-56). Di Asia Tenggara muncul kerajaan Perlak, Samudera Pasai, Melaka, Kutai, Demak, Mataram, Ternate, Tidore, dan lain-lainnya. Pada masa sekarang ini Islam telah menyebar ke seluruh dunia dengan densitas serta pemahaman yang berbeda-beda, namun satu dalam ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam yang senasib dan sepenanggungan).
Ciri-ciri Kebudayaan Islam
Adapun ciri-ciri kebudayaan Islam adalah berdasarkan kepada ajaran-ajaran agama Islam dengan dua sumbernya yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Dengan demikian segala kegiatan atau hasil budaya wajib merujuk kepada ajaran agama. Ciri lain kebudayaan Islam adalah menyeimbangkan antara keperluan dunia (materi) dan akhirat (ukhrawi).
Menurut para pakar kebudayaan, ciri-ciri sebuah kebudayaan (peradaban) adalah: penyebaan teknik pertanian, pengairan yang sistematik, peternakan, pengkhususan kerja, urbanisasi, terbentuknya negara, munculnya kelas sosial, tulisan, perdagangan, dan revolusi penciptaan (Yahaya 1998). Ciri-ciri ini juga menjadi bagian kebudayaan Islam.
Selain itu, ciri lain kebudayaan Islam adalah meletakkan tiga hal sebagai dasar, yaitu: akidah, akhlak, dan ilmu. Akidah sebagai kepercayaan sepenuhnya kepada Keesaan Allah. Ciri ini sangat penting dalam kebudayaan Islam karena ia melahirkan masyarakat yang tidak hanya menekankan kepada aspek kebendaan saja, tetapi juga menekankan aspek rohani, menyeimbangkan kepentingan kedua-duanya. Akidah yang sama ini menjadi dasar dalam hubungan antara semua muslim dunia, sebagai satu saudara. Akhlak dan ilmu menjadi penting juga dalam kebudayaan Islam. Kedua aspek itu membentuk pemikiran yang paling penting dalam kebudayaan Islam sejak zaman Nabi Muhammad hingga kini. Bahkan masalah akhlak diberikan penekanan yang intensif di dalam Al-Qur’an.
Ciri-ciri lain kebudayaan Islam ialah sifatnya yang universal, terbuka, mampu melewati semua zaman, toleransi, serta integrasi dalam berbagai perbedaan yang alamiah. Islam menyumbangkan dasar bagi bersatunya berbagai perbedaan bangsa, bahasa dan ras. Telah dibuktikan sejarah bahwa kebudayaan Islam telah melintasi ruang dan waktu sepanjang zaman serta memberikan sumbangan bagi peradaban dunia. Pandangan Islam terhadap manusia dan kebudayaannya adalah seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an berikut ini.
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَـٰكُم مِّن ذَكَرٍ۬ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَـٰكُمۡ شُعُوبً۬ا وَقَبَآٮِٕلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَڪۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَٮٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ۬
Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan Kami menjadikan kamu
bangsa dan puak supaya kamu berkenal-kenalan, sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang yang
bertakwa di antara kamu.” (Quran, surah Al-Hujurat:13).
Konsep kebudayaan dalam Islam adalah bahwa kebudayaan wajib berdasar kepada ajaran-ajaran agama Islam. Agama Islam adalah agama wahyu yang diturunkan Allah kepada umat manusia melalui perantaraan malaikat Jibril dan tugas kerasulan yang diemban Nabi Muhammad. Islam sebagai wahyu adalah bukan bagian dari kebudayaan tetapi sebagai pendorong terbitnya kebudayaan yang diridhai Allah. Kebudayaan sebagai hasil umat manusia, dalam rangka pemenuhan keperluan hidupnya, wajib berdasar kepada ajaran-ajaran Islam.
Dalam persepsi ajaran-ajaran Islam terdapat berbagai terminologi yang berkaitan erat dengan istilah kebudayaan yaitu: millah, ummah, hadarah, at-tahaqofah, tamaddun, adab dan lainnya—yang intinya adalah merujuk kepada kebudayaan masyarakat yang islami. Kebudayaan dalam Islam adalah menyeimbangkan antara aspek materi dan rohani serta tujuan hidup adalah dunia ini sendiri dan akhirat kelak. Demikian kira-kira uraian mengenai konsep kebudayaan dalam perspektif Islam.
Konsep Seni dalam Islam
Islam adalah agama tauhid yang dalam ajaran-ajarannya menekankan kepada keesaan Allah S.W.T. Dengan demikian segala konsep maupun kegiatan apapun yang dilakukan umat Islam selalu dikaitkan dengan Allah Yang Maha Esa, termasuk dalam kesenian. Seni (al-fann) dalam Islam, menurut Syed Qutb adalah pertemuan antara keindahan dan kebenaran. Keindahan adalah hakikat alam semesta dan kebenaran adalah puncak dari keindahan.
Seorang penulis seni dalam peradaban Islam yang ternama, Sayyid Hossein Nasr (dalam kitabnya yang bertajuk Spritualitas dan seni Islam terjemahan Sutejo) berpandangan bahwa tujuan akhir dari seni Islam, adalah untuk mengingat Allah. Kemudian Nasr menyatakan bahwa seni tidak akan berfungsi spiritual jika ia tidak dihubungkan dengan bentuk dan kandungan wahyu Islam. Nasr menghuraikan bahwa Islam dibentuk oleh beberapa bangunan syariah, tarikat, dan hakikat. Ia mengemukakan bahwa syariat Islam memberikan kontribusi peranan penting dalam memberi dasar dan persekitaran kepada seni Islam—dan juga menyediakan batasan-batasan tertentu atau garis untuk seni Islam itu. Nasr memeberikan arahan polarisasi bahwa sumber spiritual Islam tentu saja berasakan Al-Qur’an dan Hadits. Tanpa dua mata air yang bersumber dari Al-Qur’an dan barakah Nabi, tidak akan ada seni Islam. Suatu karya seni dapat dikategorikan sebagai seni Islam bukan saja hanya karena diciptakan oleh seorang muslim, tetapi juga karena dilandasi oleh wahyu dari Allah.
Nasr lebih jauh menyatakan bahwa spiritualitas Islam itu tentu saja akan lahir dari jiwa seniman yang Islam dan suci. Dalam konteks ini ia memberikan terminologi homo Islamicus, yang artinya adalah manusia mempunyai dua peranan, yaitu sebagai abdullah hamba Allah dan khalifatullah yaitu wakil atau khalifah Allah di muka bumi. Spritualitas dalam seni Islam menurut Nasr hanya akan lahir dari seniman yang taat jiwanya kepada Allah. Inilah yang menganehkan kita, sebahagian pendokong pluralisme di negara-negara Islam dengan begitu ghairah mengangkat Hossein Nasr sebagai antara pendukung falsafah perennial tetapi ternyata keikhlasan golongan ini berhak diragukan. Alasannya mereka mau saja menerima (atau sebetulnya mendakwa) falsafah perennial Hossein Nasr selaras dengan “agama baru” mereka yaitu pluralisme.[1]
Kesenian di dalam kehidupan boleh saja disuntikkan dengan spiritual Islam. Hossein Nasr merujuk kepada seni pertunjukan hari ini yang melibatkan teater, tari, dan musik, yang berasal dari mitos, korban untuk dewa-dewa, ketegangan langit dan bumi sebagai daya tarik ketika ia mula-mula berkembang di wilayah Yunani kuno, India, dan Eropa. Seni pentas ini telah diberi perspektif Islami dan menjadi aspek spiritual Islam seperti yang ditunjukkan dalam ta'ziyah seni teaterikal masyarakat Syiah yang berkembang ketika masa Dinasti Safawi dan Qajar di Iran dan India. Malah ketika dunia sunni mengucilkan seni, aliran Syiah dalam Islam memberi nafas yang segar kepada seni pentas. Seni seperti ini menurut Nasr meskipun tidak tercipta di pusat Islam dan bukan seni suci, dapat dilihat sebagai seni religus karena hubungan antara spiritual Islam sehingga seni Islam itu tidak harus dilihat secara terbatas semata-mata.
Dari situ Nasr menyimpulkan bahwa seni Islam bersifat tenang, mudah difahami, terstruktur, dan berkarekter spiritual tinggi. Nasr juga mengkritik segelintir seniman dan sejarawan Islam yang terikut-ikut dengan sarjana Barat yang mengabaikan makna spiritual seni Islam. Beliau menegaskan di bahagian akhir tulisannya bahwa seni Islam itu selain untuk merenungkan kembali hakikat tertinggi yang menuntun menuju Hakikat Terkhir, juga secara jelas berperan penting sebagai penopang dan pembantu ajaran Al-Qur’an, dengan bertindak sebagai pendukung untuk mencapai tujuan Islam.
Bagi orang-orang Islam, segala ciptaan seni wajib dihubungkaitkan dengan kebesaran Allah S.W.T., karena manusia tidak dapat menciptakan sesuatu tanpa pertolongan-Nya. Segala perbuatan manusia itu pun adalah anugerah Allah. Manusia hanya sekedar mengubah dan mengolah hasil ciptaan Allah. Dengan demikian seni dalam Islam mempunyai kedudukan hukum (syar’i) tertentu yang diatur oleh ajaran-ajaran Islam. Kesenian dalam Islam berkembang seiring dengan perkembangan umat. Perkembangan kesenian ini dilandasi oleh hukum tertentu, sesuai dengan fungsinya. Menurut Ibrahim Ismail (1992) kesenian Islam mempunyai ciri-ciri khas yang membedakannya dengan kesenian agama lain. Kesenian Islam diciptakan sesuai dengan firman Allah di dalam Al-Qur’an: “Aku menciptakan mereka supaya mereka tunduk kepada-Ku.”
Hukum Seni dalam Islam
Untuk menganalisis hukum seni dalam Islam, tentu harus merujuk kepada sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadits (Sunnah).[2] Selain itu juga digunakan pandangan-pandangan berbagai sekte Islam, khususnya dalam konteks tulisan ini, yang terintegrasi ke dalam masyarakat Islam ahlussunah wal jama’ah, yaitu: Syafi’i, Hambali, Maliki, dan Hanafi.[3]
Islam adalah agama samawi (langit) yang diturunkan oleh Allah melalui Nabi Muhammad. Wahyu Allah itu kemudian dimushafkan dalam Kitab Suci Al-Qur’an. Sumber ajaran Islam lainnya di samping Al-Qur’an adalah Hadits, berupa sunnah dalam bentuk perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia, baik di dunia ataupun di akhirat. Ajaran Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, seperti akidah, teologi, ibadah, hukum (syara’), tasawuf (mistisisme), filsafat, politik, pembaruan, dan kesenian.
Allah mencipta manusia untuk mengabdikan dan beribadah kepada-Nya. Jadi, setiap apa yang dilakukan manusia perlu menjuruskan kepada hakikat penciptaan. Islam memberikan kebebasan sesuai dengan hukum alam atau sunatullah, asalkan tidak lari dari landasan asal konsep takwa.
Sayyid Qutb, menguraikan seni Islam semestinya dilahirkan oleh seniman muslim yaitu seorang yang melibatkan secara serius dalam kesenian Islam agar dapat menimbulkan kesadaran kepada individu dan masyarakat terhadap alam kehidupan dan realiti peristiwa alam. Dalam konteks lebih luas, dapat mengungkapkan peristiwa itu dengan keupayaan penyataan bahasa yang indah dan dalam waktu yang sama ia hidup dalam tasawwur Islam. Sarjana Islam meringkaskan tujuan kesenian Islam kepada lima yaitu: (1) membantu manusia mengenal jati diri, bukan memancar keluar diri; (2) menjadi hamba Allah dan khalifah makhluk; (3) menyadari kemuliaan dan ketinggian azali manusia; (4) mengelakkan dari konsep idola makhluk, dan (5) selaras secara vertikal kesenian lahir, batin serta rohani.
Secara khususnya ia memperlihatkan kepentingan seni Islam dalam proses memenuhi keperluan hidup manusia yang menghubungkan manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Ia dalam satu hubungan secara sebahagian atau menyeluruh yang tidak mengetepikan hubungan manusia sebagai hamba kepada-Nya.
Timbulnya seni adalah sebahagian dari fitrah manusia yang suka melihat dan mendengar perkara indah. Ketelitian dan ketekunan terhadap sesuatu kerja seni memberikan satu kepuasan dan merangsang pemikiran untuk mengakui nikmat dikurniakan Allah. Selagi hasil seni itu tidak memperlihatkan sesuatu bertentangan dengan roh Islam, maka ia menjadi sebahagian dari seni Islam. Sebaliknya, hasil seni yang melambangkan keangkuhan dan memutuskan hubungan dengan Allah dan manusia yang lain, dilarang sama sekali diamalkan.
Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulum al-Din, membincangkan secara terperinci mengenai hukum bermain musik dan nyanyian.Di antara perkara yang dinukilkannya dalam membuat uraian itu: jiwa yang sehat ialah jiwa yang segar apabila mendengar suara petikan biola, segar apabila melihat bunga mekar sekitar taman. Sebaliknya jiwa yang rusak, ialah yang gagal menikmati suara petikan biola, jiwa yang tidak terhibur sekali pun dikelilingi taman yang penuh bunga-bungaan. Ketenangan dan kepekaan jiwa amat penting bagi memahami perkara dalam urusan agama dan kehidupan. Sebab itu dipentingkan jiwa yang hidup dan dapat menerima hakikat dalam keadaan terbuka dan bukannya jumud. Jiwa yang jumud dan tertutup sebenarnya jiwa yang mati. Yakinlah semua ciptaan Allah memperlihatkan unsur seni yang cantik, menarik dan tidak ada yang cacatnya. Allah maukan manusia memerhatikan, menghargai, dan memanfaatkan setiap ciptaan-Nya.
Yusuf Al-Qardawi, menggariskan panduan yang mengharuskan permainan musik dan nyanyian. Pertama Lirik lagu dan pertunjukannya tidak bertentangan akidah Islam dan hukum syarak. Lirik lagu yang mempertikaikan akidah Islam dan kebesaran Allah, tidak harus didengar. Kedua persembahan hendaklah dalam bentuk sopan. Ia tidak melibatkan pergerakan yang membangkitkan nafsu dan melalaikan. Ketiga tidak melibatkan pergaulan bebas lelaki dan perempuan, tidak diadakan di tempat yang boleh mendatangkan fitnah, tidak diadakan di tempat yang gelap atau separuh gelap yang boleh memberi ruang kepada setan mempengaruhi perkara tidak baik. Keempat Tidak dilakukan secara keterlaluan sehingga mendatangkan pelbagai perkara buruk. Yang lebih penting tidak melalaikan manusia dari melakukan perintah Allah.
Menurut Imam Al-Ghazali, mendengar musik itu ada lima hukumnya: harus, sunat, wajib, makruh, dan haram. Untuk musik Islam, Al-Ghazali mengkategorisasikannya ke dalam tujuh fungsi: (1) lagu yang membangkitan kerinduan untuk menziarahi tempat-tempat suci seperti Mekkah dan Medinah; (2) lagu yang mengobarkan semangat untuk berjuang mempertahankan akidah dan negara; (3) lagu yang isinya bertema pertarungan dan sikap jantan yang pantang menyerah di saat-saat genting; (4) mengenang peristiwa masa lalu, sehingga mengingatkan diri tentang hakekat hidup; (5) lagu yang menyifatkan keadaan ketika sukacita untuk menghargai suasana tersebut dan menikmati kenangannya selama mungkin; (6) lagu ghazal yang sopan, yaitu yang berisikan tema tentang kisah cinta dan membayangkan harapan untuk bertemu dan pertautan yang lebih erat di masa yang akan datang; dan (7) lagu yang berisikan tema tentang keagungan dan sifat-sifat Allah S.W.T., memuji serta mentahmidkan kebesaran-Nya (1413 H:24-284).[4]
Pada dasarnya Islam telah mengarahkan umatnya untuk melakukan musik mana yang boleh dan mana yang haram. Bagaimana konsep tersebut diwujudkan masyarakat Islam? Mari dilihat terapannya pada masyarakat Melayu yang berada di kawasan Sumatera Utara.
Hukum Lagu dan Tari dalam Islam
Untuk membahas masalah lagu dan tari dalam Islam, tentu saja mesti merujuk kepada sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Selain itu dipergunakan pula pandangan-pandangan pelbagai sekte Islam, khasnya yang terintegrasi di dalam masyrakat Islam ahlussunah waljamaah, yaitu: Syafi’i, Hanbali, Maliki dan Hanafi. Masyarakat Melayu Islam di Sumatera Utara sendiri pada masa sekarang amnya menggunakan mazhab Syafi’i, sebuah mzhab dalam agama Islam yang umum dianut masyarakat di Asia Tenggara.
Adapun kajian ini dilakukan karena seni perunjukan Melayu di Sumatera Utara sangat kuat mengekspresikan kesenian Islam, yang berasas kepada nilai-nilai keuniversalan Islam. Di sisi lain, Islam tetap menghargi variasi-variasi kebudayaan sesuai degan situasi, kondisi, dan tempat di mana kesenian itu hidup. Selain itu, dalam tahap ide, kegiatan mahupun budaya materialnya, para pendukug seni persembahan wajib berpedoman kepada-konsep Islam.
Islam adalah agama samawi (langit) yang diturunan oleh Allah S.W.T. melalui rasulullah Muhamad S.A.W. Wahyu Allah ini kemudiannya dimushafkan (dibukukan) dalam Kitab Suci Al-Qur’an di masa Khalifah Umar. Sumber ajaran Islam lainnya, di samping Al-Qur’an adalah Hadits, berupa sunah dalam bentuk perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia baik di dunia maupun akhirat. Ajaran Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia seperti akidah, teologi, ibadah, hukum (syara’), tasawuf (sufisme), filsafat, politik (siyasah), tajdid, kesenian dan lainnya.
Islam adaah agama tauhid yang dalam ajaran-ajarannya menekankan kepad keesaan Allah. Dengan demikian segala konsepsi dan kegiatan apapun yang dilakukan umat Islam selalu dikaitkan dengan Allah S.W.T., termasuk kesenian. Seni (al-Fann) dalam Islam mengikut Syed Qutb adalah penyempurnaan pertemuan antara keindahan dan kebenaran. Keindahan adalah hakikat alam semesta dan kebenaran adalah puncak dari keindahan.
Bagi umat Islam, segala ciptaan seni harus dihubungkan dengan kekayaan dan kebesaran Allah, karena manusia tidak boleh menciptakan sesuatu anpa pertolongan Allah. Segala perbuatan manusia itu adalah anugerah dari Allah SWT. Manusia hanya sekedar mengubah dan mengolah hasil ciptaan Allah. Dengan demikian seni (lagu dan tari) dalam Islam mempunyai kedudukan hukum tertentu, yang diatur oleh ajaran-ajaran agama Islam sama ada yang terdapat di dalam Al-Qur’an, Hadits, maupun pendapat-pendapat para ulama dari berbagai mazhab dalam Islam.
Kesenian dalam Islam berkebang seiring dengan perkembangan umat. Perkembangn kesenian ini dilanasi dengan hukum tertentu, selaras dengan fungsinya. Menurut Ibrahim Ismail kesenian Islam memiliki ciri-ciri khas yang membedakannya dengan kesenian lain. Kesenian Islam diciptakn sebagai bahagian dari ibadah untuk mematuhi perintah Allah, selaras dengan perintah-Nya di dalam Al-Qur’an: “Aku menciptakan mereka untuk tunduk kepada-Ku.”
Sebahagian orang muslim mengatakan bahwa Islam tidak bertentangan, apalagi melarang seni. Namun sebahagian yang lain mengharamkannya. Pendapat yang mendukung seni ini adalah berdasar kepada dalil aqliyah (berpikir logis) bahwa Al-Qur’an sendiri mengandung nilai-nilai keindahan dan kesejarahan yang sangat tinggi. Hingga kini tilawah (teknik membaca Al-Qur’an) dan khat (kaligrafi) tersebar luas di dunia. Dalam memposisikan seni, mereka juga berdasar kepada dalil naqliyah (berdasar kepada wahyu Allah), baik Al-Qur’an maupun Hadits. Di antaranya adalah Hadits yang mengatakan: “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan.”
Kedudukan Lagu (Musik ) dalam Islam
Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang secara implisit berkaitan dengan seni musik. Dibandingkan dengan Hadits, maka relatif sedikit Al-Qur’an yang menjelaskan kedudukan seni musik dalam Islam. Ayat-ayat Al-Qur’an itu di antaranya adalah seperti yang diturunkan berikut in, “Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.”
Ayat di atas sangat berhubungan dengan seni bacaan Al-Qur’an. Sehubungan dengan itu perlu pula dikutip Hadits yang berbunyi: “Hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu...”
Ayat Quran dan dau Hadits di atas, sama-sama membicaraan tentang seni baca Al-Qur’an yang mengisyaratkan kepada umat Islam supaya membaca Al-Qur’an dengan sebaik-baiknya, dengan suara yang bagus, dan mengikut tajwd yang benar. Apabila ada yang merusakkan, menambah, atau mengurangi huruf-huruf Al-Qur’an maka itu dianggap suatu bid’ah. Permasalahan ini jug dapat dilihat pada firman Allah yang berbunyi sebagai berikut, Artinya: “Sebahagian manusia membeli lahualhadits (perkataan yang tidak berguna) untuk menyesakan orang lain dari jalan Allah S.W.T. tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah S.W.T. itu olok-oloan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.”
Istilah lahualhadits (perkataan yang tidak berguna) pada ayat di atas menurut para ahli tafsir adalah apa saja kata-kata (suara) atau nyanyian (lagu-lagu) yang dapat melalaikan seseorang kepada jalan Allah S.W.T. Karena pada asasnya nyanyian itu adalah perkataan, oleh karena itu akan lebih baik apabila disusun dengan kata-kata yang baik, dan ia akan jelek apabila dirangkai dengan kata-kata yang jelek. Kalimat tersebut berkaitann erat dengan sikap dan perbuatan orang-orang kafir yang cenderung menjadikan ayat-ayat Allah S.W.T. sebagai senda gurau, dengan tujuan untuk menghiakan, merendahkan, dan berusaha menyesatkan orang-orang dari jalan Allah.
Selanjutnya ada nash-nash yang menunjukkan atas diperbolehkannya mendengar suara yang bagus sebagai anugerah Allah kepada hambaNya, sebagai berikut, “Dan Allah S.W.T. menambah aada makhlukNya apa yang Dia Kehendaki.” “Dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya sejelek-jelek suara adalah suara keledai.”
Berdasarkan pengertian yang dipahami dari kedua ayat di atas, bahwa Allah memberikan anugerah suara yang bagus kepada hambaNya, tentu saja apabila suara tersebut dipergunakan kepada jalan yang dikehendaki Allah. Dengan demikian diisyaratkan juga bahwa baik dalam bernyanyi maupun berbicara semestinya dengan suara yang lunak dan lembut, janganah memekik-mekik atau meringis seperti suara keledai, karena Al-Qur’an menganggap bahwa suara keledai adalah sebagai suara yang paling buruk.
Seterusnya terdapat sebuah firman Allah yang mengisyaratkan bahwa haramnya bermain musik atau bernyanyi apabila dilakukan di luar batas kewajaran, seperti ayat berikut ini, “Dan desak serta bujuklah (wahai iblis) siapa yang engkau dapat membujuknya dengan shautika (suaramu).”
Perkataan shautika (suara engkau) yang ditujuka kepada iblis, mengikut tafsiran mujahid adalah nyanyian atau hiburan yang digunakan oleh iblis dalam menggoda dan membujuk manusia untuk melakukan perbuatan maksiat. Berbeda dengan tafsiran mujahid tersebut, Al-Baghdadi mengkaitkan perkataan shautika dengan berbagai jenis hiburan yang kadarnya melampaui batas-batas yang dibenarkan oleh syara’, seperti main musik dan beryanyi pada wktu shalat Jumat, atau pada peristiwa-perisiwa yang disenangi setan seperti pada pesta yang bercampur antara kaum laki-laki dan perempuan, disertai dengan judi dan minum-minuman keras.
Pada dasarnya Allah S.W.T. mencintai keindahan, sebab Al-Jamil (Yang Indah) itu sendiri adalah salah satu asma sekaligus sifat Allah. Sehubungan dengan ayat-ayat di atas, sesungguhnya Al-Qur’an tidak melarang musik, sejauh musik tersebut tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya. Bahkan Allah S.W.T. menyerukan untuk membaca Al-Qur’an dengan suara yang merdu. Allah melalui Al-Qur’an melarang umat-Nya untuk berman musik apabila melampaui batas-batas yang telah ditentukan.
Kedudukan Lagu dan Tari dalam Hadits
Dalam konteks sejarah Islam, dapat diketahui bahwa Nabi Muhammad S.A.W. (51-632 M) sangat seang dengan musik (al-musiqi) dan sekali gus menentang musik tertentu. Artinya demi kepentingan agama Islam, baginda membeda-bedakan musik yang bertentangan dan musik yang selaras dengan ajaran agama Islam. Oleh karena itu, sangat banyak nash-nash di dalam buku-buku hadits yang berkaitan dengan seni (lagu dan tari). Di antara nash-nash tersebut ada yang menghalalkan seorang menyanyi dan memainkan alat musik, namun kegiatan itu hanya boleh dilakukan utuk difungsikan pada pesta-pesta pernikahan, khitanan, menyambut tetamu yang baru datang, memuji-muji orang yang meninggal dunia secara syahid dalam peperangan, atau menyambut datangnya hari raya dan sejenisnya.
Ada beberapa nash yang menuliskan bahwa Rasulullah S.A.W. tidak menentang syair, karena syair itu sering dinyanyikan di hadapan baginda, sebagaimana Aisya r.a. berkata: “Para sahabat Rasululah S.A.W. saling menyanyikan syair di sisi beliau dan beliau tersenyum. Kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya di dalam syair itu ada hikmah.”
Selanjunya, terdapat pula Hadist yang diriwaytan oleh Imam Bukhari, dari Muslim, dari Aisyah r.a., yang mengatakan: “Pada suat hari (waku itu adalah hari raya di mana orang-orang Sudan sedang menari dengan memainkan alat-alat penangkis dan senjata perangnya di dalam mesjid) Rasulullah S.A.W. masuk ke tempatku. Di sampingku ada dua budak perempuan yang sedang mendendangkan nyanyian (tentang hari) Bu’ats dengan menggunakan rebana. Ku lihat Rasulullah S.A.W. berbaring tetapi dengan memalingkan mukanya. Pada saat itu Abu Bakar masuk dan ia marah kepada kedua budak perempuan itu. Katanya, “Di tempat Nabi ada seruling setan?” Mendengar seruan itu, Nabi lalu menghadapkan mukanya kepada Abu Bakar sambil berkata: Biarkanlah keduanya hai Abu Bakar, karena hari ini adalah hari raya.”
Para ulama mengatakan bahwa Hadits di atas diriwayatkan dengan cara muallaq (tanpa menyebutkan sanadnya), dan kata al-ma’azif belum disepakati makna pastinya. Ada yang mengartikan dengan hiburan (dalam pengertian umum) dan ada pula yang mengartikannya dengan alat musik. Jadi Hadits ini tidak menunjukkan secara jelas hukum haramnya alat musik itu. Kemudian kata yastahilluna yang dipahami sebagai perbuatan kufur seperi zina, sutera, dan khamr adalah haram, namun tidak demikian dengan alat musik. Jadi Hadits ini mengisyaratkan bahwa memainkan alat musik adalah halal, namun akan menjadi haram hukumnya apabila kegiatan itu dicampurkan dengan perbuatan zina, sutera, dan khamr. Dengan demikian Hadits ini tidak boleh dipakai sebaga dalil untuk mengharamkan lagu dan penggunaan alat-alat musik, karena tidak memiliki batasan yang jelas.
Seterusnya sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Abu Daud dan disahihkan oleh Ibnu Hibban, seperti yang diturunkan berikut ini.
“Sekelompok dari umaku akan minum khamr, menyebutnya dengan nama (baru) selain nama khamr. Para pemusik bersama penyanyi wanita akan melakukan persembahan di hadapan mereka. Kemudian mereka akan dilenyapkan ke dalam tanah dan dijadikan sebahagian dari mereka dalam bentuk kera dan iblis.”
Sebahagian ulama menafsirkan hadits ini sebagai ancaman kepada para peminum khamr, dan keberadaan para penyanyi wanita di hadapan lelaki fasik juga haram hukumnya. Sedangkan keberadaan alat musik di sini hanya sebagai pelengkap. Jadi hadits ini hampir sama maksudnya dengan hadits sebelumnya, yang mengisyaratkan bahwa permainan alat musik menjadi haram hukumnya apabila dicampurkan dengan perbuatan khamr dan penyanyi-penyanyi wanita. Dengan demikian, hadits ini juga tidak dipakai sebagai dalil untuk mengharamkan musik secara umum.
Pada hadits lain diterangkan bahwa Rasulullah S.A.W. melarang kaumnya untuk berada di tempat-tempat persembahan seperti di kelab malam, diskotik dan sejenisnya selari dengan sabda baginda: “Sekelompok umatku akan menghalalkan permainan alat-alat musik dan penyanyi wanita (bersama mereka).”
Secara asas hadits-hadits di atas menghaalkan penggunaan alat-alat apabila dilakukan dalam batas-batas kewajaran. Misalnya dilakukan pada hari-hari tertentu seperti pada pesta pernikahan dan pada ari-hari gembira lainnya. Sebaliknya akan menjadi haram hukumnya apabila alat-alat musik dipergunakan di luar batas-batas yang telah digariskan oleh syara’, seperti dicampurkan dengan perbuatan-perbuatan kufur (zina, sutera dan khamar) dan hadirnya penyanyi-penyanyi wanita di hadapan lelaki fasik di tempat-tempet persembahan tertentu.
Lagu dan Tari dalam Pandangan Fukaha dan Mazhab Islam
Seni musik dalam Islam mempunyai kedudukan tertentu, seperti yang dikemukakan oleh para fukaha dan mazhab Islam. Umumnya pandangan mereka juga berasaskan Al-Qur’an dan Hadits, dengan ijtihad masing-masing.
Imam Asy-Syaukani, dalam kitabnya Nailul Authar menyebutkan bahwa para ulama berselisih pendapat tentang hukum menyanyi dan alatan musik. Menurut Mazhab Jumhur adalah haram, sedangkan Mazhab Ahlul Madinah, Azh-Zhahiriyah dan Jamaah Sufiyah memperbolehkan.
Abu Mansyur Al Baghdadi dari Mazhab Asyafi’i menyatakan bahwa Abdullah bin Ja’far berpendapat bahwa lagu dan musik instrumental itu tidak menjadi masalah. Dia sendiri pernah menciptakan lagu untuk dinyanyikan oleh seorang budak perempuan (jawari) dengan iringan alat musik rebab, pada msa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.
Ulama-ulama Syafi’iyah seperti yang dierangkan oleh Al-Ghazali, megatakan bahwa nash-nash syara’ (teks hukum Islam) telah menunjukkan bahwa menyanyi dan menari, memukul rebana, sambil bermain dengan perisai dan senjata-senjata perang pada hari raya adalah mubah (boleh)—sebab hari raya itu adalah hari untuk bergembira. Hari bergembira ini selanjutnya dikiaskan untuk hari-hari lain, seperti khatan dan semua hari kegembiraan yang memang dibolehkan oleh syara’.
Al-Ghazali mengutip perkataan Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa sepanjang pengetahuannya tidak ada serang pun dari ulama Hijaz (salah satu wilayah Arab Saudi) yang benci mendengarkan nyanyian, meskipun diakui nyanyian tersebut telah pun bercampur dengan hal-hal yang dilarang oleh syara’.
Para ulama Hanafiyah mengatakan bahwa nyanyian yang diharamkan itu adaah nyanyian yang mengandung kata-kata yang tidak baik seperti menyebutkan sifat-sifat jejaka dan dara, atau sifat-sifat manusia yang masih hidup. Adapun nyanyian yang memuji keindahan bunga, air terjun, gunung dan pemandangan alam lainnya, tidak dilarang sama sekali. Memang ada orang-orang yang menukilkan pendapat dari Imam Abu Hanafiah yang mengaakan bahwa mendengarkan nyanyian dianggapnya telah melakukan perbuatan dosa. Di sini harus difahami bahwa nyanyian yang dimaksud Imam Hanafi adalah nyanyian yang bercampur dengan hal-hal yang dilarang syara’.
Para ulama Malikiyah mengatakan bahwa alat-alat permainan yang digunakan untk memeriahkan pesta pernikahan hukumnya boleh. Alat-alat genta, musik khusus untuk peristiwa seperti ini misalnya gendang, rebana yang tidak memakai genta, seruling, dan terompet.
Para ulama Hanbaliyah mengatakan bahwa dalam prktik musik tidak boleh dipergunakan alat-alat musik seperti: gambus, gendang, rebana, dan yang serupa dengannya. Adapun tentang nyanyian atau lagu hukumnya boleh. Bahkan sunat melagukannya ketika membaca ayat-ayat Al-Qur’an, asal tidak sampai mengubah aturan-aturan bacaannya.
Menurut Al-Ghazali, mendengar musik itu ada lima hukumnya, yaitu: harus, sunat, wajib, makruh, dan haram. Untuk musik Islam Al-Ghazali mengklasifikasikannya ke dalam tujuh kategori, yaitu: (1) lagu yang membangkitkan kerinduan untuk menziarahi tempat-tempat suci seperti Mekah dan Madinah; (2) lagu yang mengobarkan semangat untuk berjuang mempertahankan akidah dan negara; (3) lagu yang isinya bertema pertarungan dan sikap jantan yang tdak pantang menyerah di saat-saat genting; (4) mengenang peristiwa masa lalu, sehingga mengingatkan diri tentang hakikat hidup; (5) lagu yang menyifatkan keadaan ketika sukacita untuk menghargai suasana tersebut dan menikmati kenanganya selama mungkin; (6) lagu ghazal yang sopan yaitu berisikan tema tetan kisah cinta dan membayangkan harapan untuk bertemu dan pertautan yang lebih erat di masa yang akan datang, dan (7) lagu yang berisikan tema tentang keagungan dan sifat-sifat Allah, memuji erta mentahmidkan kebesaran Allah.
Selanjutnya para ahli syara’ sebagaimana dikatakan oleh Mahmud Syaltut mengungkapkan bahwa mendengar musik yang indah, baik vokal manusia, binatang, mahupun alat-alat musik, selama tidak melalaikan kewajiban agama dan tidak merusakkan akhlak tidak dilarang, hukumnya harus.
Kesimpulan
Dari beberapa ayat suci Al-Qur’an, hadits, dan pandangan-pandangan fukaha serta empat mazhab Islam di atas terlihat bahwa sebenarnya Islam membagi perhatian dan kedudukan yang jelas tentang lagu dan tari. Pada asasnya hukum lagu dan tarian dalam Islam itu mubh atau boleh, selama tidak melalaikan kewajiban agama Islam, dan tidak disertai dengan hal-hal yang haram. Selain itu ia dinyanyikan sesuai dengan etika Islami dan ajaran-ajarannya. Dilakukan dalam perisiwa kegembiraan yang diisyaatkan Allah, seperti resepsi nikah kawin, hari raya, dan hari gembira lainnya. Bahkan para ahli syara’ mengungkapkan bahwa sesungguhnya esensi seni musik dalam Islam mempunyai kedudukan “harus” apabila mencerminkan kegiatan Islami yang merujuk kepada ketundkan kepada Allah.
Sebaliknya lagu dan tari akan menjadi haram hukumnya apabila disertai dengan perbuatan haram atau mengkar, misalnya minum khamr, bercampurnya lelaki dan perempuan dengan bebas dalam sebuah pesta (atau yang menampilakan aurat wanita); isi atau teksnya bertentangan dengan akidah Islam, misalnya lagu rintihan cinta yang menimbulkan nafsu birahi, kotor dan porno. Tidak peduli apakah lagu itu berbentu vokal atau diiringi dengan musik, baik yang dilakukan oleh lelaki maupun perempuan. Karena pada asanya lagu adalah perkataan, ia akan baik jika disusun dengan kata-kata yang baik, sebaliknya ia akan jelek apabila dirangkai dengan kata-kata yang jelek. Jadi perkataan yang kandungan isinya haram maka haram hukumnya.
===========================================================================================================
[1]Sebagaimana watak pemikiran posmodernime yang selalu mengaitkan pemikiran dengan kekuasaan, gerakan Islam liberal tampaknya mengikuti gaya ini. Oleh karena itu salah satu hasil pemikiran dalam Islam liberal adalah politik adalah salah satu agenda penting. Dalam kenyataannya pemikiran Islam liberal memulai gerakannya dengan perhatian utama pada membendung kekuatan arus pemikiran yang diistilahkan dengan fundamentalisme. Beberapa pemikir dari gerakan liberalisme dalam Islam, ada juga yang mengistilahkan kelompok fundamentalisme tadi dengan sebutan Islam literal, Islam tekstual, Islam garis keras, Islam ortodoks, dan Islam salafi. Teknik gerakan liberalisme menghadang kelompok fundamentalisme cenderung frontal, konfrontatif, dan tidak persuasif. Tokoh-tokoh pemikir liberal di kalangan masyarakat Dunia Islam muncul dengan ide-ide menyerang pemikiran alur utama (mainstream) umat Islam. Pandangan-pandangan mereka terhadap kelompok salafi yang mereka anggap sebagai kelompok fundamentalis lebih keras--ketimbang kritik mereka terhadap para pemikir Barat. Disebabkan oleh sejak awal mereka mengusung ide pluralisme agama, maka dampaknya mereka lebih keras mengkrikik umat dan ajaran Islam dibandingkan dengan umat dan agama lain. Padahal dalam ajaran Islam sesama muslim adalah saudara, saling bekerjasama menegakkan ajaran Allah.
Terminologi fundamentalisme muncul pertama kali pada tahun 1920, yang dikemukakan oleh Curtis Lee Laws, yang maknanya merujuk kepada golongan American Protestant Christian (Kristen Protestan Amerika) yang menentang modernisme dan liberalisme, terutama Darwinisme. Fanatisme mereka terhadap Christianity dan penentangan terhadap pembaharuan ini menjadi ciri utama fundamentalisme golongan Kristen ini. Oleh karena itu, istilah fundamentalisme ini sinonim dengan fanatik, ekstrimis, dan militan. Sehingga akhirnya terminologi tersebut memiliki konotasi dan denotasi negatif, mencemooh, dan memojokkan. Penggunaan terminologi fundamentalisme dalam Dunia Islam muncul dan menjadi populer setelah revolusi Iran, 1979, yang maknanya merujuk kepada aktivis militan golongan Shi’ah di Iran, yang memprotes segala aktivitas Barat, mempromosikan penentangan terhadap kepentingan Barat. Bahkan kemudian berkembang pula makna fundamentalisme ini yang dikaitkan dengan aksi-aksi terorisme. Menurut Veitch istilah fundamentalisme telah digunakan dengan sewenang-wenang oleh media dan penulis-penulis Barat—sehingga tidak hanya melingkupi golongan radikal dan ekstrim saja, tetapi mencakup pula golongan reformis dan revivalis (Veitch 1993). Selaras dengan pandangan Veitch, Khursid Ahmad menyangkal dimasukkannya gerakan revivalis ke dalam kategori fundamentalis, fanatik, dan militan. Karena gerakan-gerakan tersebut tidak bersifat demikian.
[2]Hadits, hadits atau hadis (bahasa Arab: hadīth mufrad; ahādīth jamak); adalah tradisi-tradisi berkaitan kata-kata dan perbuatan bagi nabi Muhammad s.a.w. Koleksi-koleksi hadis dianggap sebagai alat penting untuk menentukan Sunnah, atau cara hidup Islam, oleh semua sekolah-sekolah tradisional perundangan. Hadis dijadikan sumber hukum dalam Islam selain Al-Qur’an, Ijma dan Qiyas. Ada banyak ulama periwayat hadis, namun yang sering digunakan dalam fiqh Islam ada tujuh yaitu Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i dan Imam Ibnu Majah. Sumber:"http://ms.wikipedia.org/wiki/Hadits"
3Penjelasan secara rinci tentang keempat Mazhab Sunni ini, lihat tulisan Munawar Chalil 1955. Dalam tulisan ini dikupas tentang biografi keempat Imam Mazhab Sunni, serta pandangan-pandangannya. Dalam kesimpulan tulisannya Munawar Chalil melihat persamaan-persamaan umum keempat Imam itu, yaitu: kecintaan mereka terhadap ilmu pengetahuan, pembelaan mereka terhadap Al-Qur’an dan Hadits, keberanian dalam mengungkapkan kebenaran, jauh dari sifat mengelabui umat. Perbedaan-perbedaan mereka hanyalah dari segi ijtihad terhadap ajaran Islam, yaitu dengan dasar: (1) Mazhab Hanafi berdasar kepada Kitab Allah (Al-Qur’an), Sunnah Rasulullah S.A.W. dan atsar yang sahih serta masyhur di antara para ulama yang ahli, fatwa-fatwa para sahabat Nabi; qiyas, istihsan; adat atau tatacara yang telah berlaku dalam masyarakat Islam; (2) Mazhab Maliki berdasar kepada kitab Allah S.W.T. (Al-Qur’an), sunnah Rasulullah S.A.W. yang telah dipandang syah oleh Imam Maliki; ijma’ para ulama ahli Medinah di kala itu; qiyas; istishlah atau mashalihul mursalah; (3) Mazhab Syafi’i berdasarkan kepada menurut bunyi dzahirnya ayat Al-Qur’an; sunnah Rasulullah S.A.W. dan Hadits yang ahad selama perawinya memenuhi dan mencukupi syarat yang ditentukan oleh Imam Syafi’i; ijma’ dengan syarat tidak menimbulkan perselisihan bagi segenap para ulama dan wali; qiyas; dan istidlal. (4) Mazhab Hambali berdasar kepada: Nash Al-Qur’an dan Hadits Shalih fatwa-fatwa para sahabat Nabi Muhammad (ijma’ sahabi); fatwa sahabat Nabi yang masih diperselisihkan dipilihnya yang lebih dekat kepada Al-Qur’an atau Sunnah; Hadits mursal dan Hadits dhaif serta qiyas.
[4]Masalah kedudukan hukum musik dalam Islam, silahkan lihat Al-Faruqi (1999), Qardhawi (1998), Ibrahim Ismail (1992), Muhammad Qutb (1992), Ridwan (1994), Al-Ghazali (1413 H), Al-Baghdadi (1992), Gazalba (1988), Shalihah (1983), Hoesin (1981), dan lain-lainnya.
---------------------------------------------------------------------